Kehidupan religius masyarakat di Bali tak bisa dilepaskan dari keberadaan uang kepeng atau yang lebih dikenal dengan pis bolong. Uang ke...
Kehidupan
religius masyarakat di Bali tak bisa dilepaskan dari keberadaan uang kepeng
atau yang lebih dikenal dengan pis bolong. Uang kepeng ini digunakan dalam
pembuatan upakara atau banten, dan pada lingkup terkecil, uang kepeng digunakan
dalam kuangen.
Dalam
Himpunan Keputusan Seminar Kesatua Tafsir
Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I - IX yang diterbitkan Parisada Hindu
Dharma Pusat tahun 1982 - 1983 dituliskan, berdasarkan berita-berita China dari
dinasti Tiang, uang kepeng telah beredar di Bali pada abad ke-7 Masehi. Awalnya
diduga uang kepeng ini digunakan sebagai alat tukar. Selanjutnya pada abad ke-8,
berdasarkan bukti-bukti prasasti Sukawana Al yang berangka tahun 882 Masehi,
uang kepeng diduga telah berfungsi dalam hal yang berkaitan dengan upacara
Agama Hindu di Bali.
Lebih
lanjut disebutkan, uang kepeng dalam upacara terbuat dari unsur-unsur Pancadatu
yakni tembaga, timah, besi, perak, dan emas. Bentuk dari uang kepeng ini
merupakan lambang dari windu (bulatan).
Dahulu,
satuan uang kepeng merupakan satuan bilangan yang terkecil sehingga paling
mudah untuk menentukan jumlah satuan. Masing-masing bilangan dari 1 sampai 9
mengandung arti atau simbolis urip. Fungsi uang kepeng yakni digunakan sebagai
sarana untuk melengkapi upakara Panca Yadnya, misalnya dalam akah banten, dalam
buah lis, orti, dan sebagainya. Juga berfungsi sebagai sesari dan dapat juga
berfungsi sebagai alat-alat upakara, seperti untuk lamak-tamiang, salang,
payung pagut, ataupun penyeneng.
Ni
Komang Ayu Astiti dalam artikelnya UangKepeng Sepanjang Masa: Perspektif Arkeologi dan Ekonomi Kreatif Di ProvinsiBali menambahkan, uang kepeng di Bali merupakan salah satu simbol kemakmuran dan saat
ini banyak digunakan dalam upacara keagamaan khususnya agama Hindu. Berdasarkan
mitos, uang kepeng dibawa ke Bali abad ke-11 Masehi oleh Tang Ci Keng seorang
putri Cina dari Dinasti Song yang menikah dengan Raja Bali Sri Jaya Pangus.
Akan tetapi, pada kenyataannya di Bali banyak ditemukan uang kepeng yang
berasal dari sebelum abad ke-11 Masehi.
Astiti
menambahkan, besarnya peranan uang kepeng pada masyarakat Bali sebelum abad
ke-11 Masehi dibuktikan dengan banyaknya temuan uang kepeng pada situs-situs
arkeologi. “Ekskavasi di Situs Gelang Agung oleh Balai Arkeologi Denpasar pada
bulan Mei 2013 menemukan struktur bangunan yang diduga berasal dari abad ke-14
Masehi. Temuan lainnya berupa uang kepeng sebanyak 322 keping yang berasal dari
Cina dan Vietnam. Pada tahun 2008 dilakukan perbaikan Pura Bukit Legundi Cemeng
yang berada di kawasan pegunungan sisi baratlaut dari kaldera Gunung Batur
Kitamani. Pada saat itu warga setempat menemukan sejumlah uang kepeng kuno di
tiga lokasi berbeda. Jumlah keseluruhannya lebih dari 15.000 keping yang sebagian
besar dalam kondisi cukup baik,” tulis Astiti.
Walaupun
sejak tahun 1951 pemerintah RI telah mengeluarkan undang-undang tentang uang RI
sebagai alat pembayaran yang sah, uang kepeng tetap dimanfaatkan sebagai sarana
upacara keagamaan di Bali. Hal ini dapat dilihat dalam upacara keagamaan baik
itu upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Bhuta
Yadnya selalu menggunakan uang kepeng. “Uang kepeng dalam upacara keagamaan
berfungsi sebagai sesari, pengurip-urip dan berperan sebagai simbol,” paparnya.
Astiti
menuliskan, uang kepeng di Bali dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, uang
kepeng asli Cina, Jepang, dan Vietnam yang berisi tulisan huruf kanji. Kedua,
uang kepeng lokal Nusantara yang berhuruf Jawa Kuno, berhuruf Arab, dan
berhiaskan bentuk wayang atau flora lokal. Ketiga, uang kepeng masa kini atau
tiruan.
Keberadaan
uang kepeng asli baik dari Cina, Jepang, Vietnam, dan lokal Nusantara sangat
terbatas sehingga sulit diperoleh di pasaran. Menurutnya, kelangkaan uang
kepeng asli di Bali juga terkait dengan sikap Pemerintah Belanda yang ingin
menghilangkan fungsi uang kepeng sebagai alat pembayaran yang sah. “Uang kepeng
tiruan banyak beredar di Bali untuk memenuhi tingginya kebutuhan masyarakat
terutama untuk keperluan upacara keagamaan. Uang kepeng tiruan dibuat dari
campuran logam, seperti besi, kuningan, tembaga, dan timah. Bahkan ada uang
kepeng berbahan baku plat besi tipis yang dibuatkan lubang tanpa disertai
huruf,” katanya.
Seorang
kolektor uang kepeng asal Tegal Kubu, Samplangan, Gianyar Bali, Hartawan dalam Studi Uang Kepeng Sebagai Produk Seni
Kerajinan dan Hubungannya Dengan Konsep “Ajeg Bali” Di Bali yang disusun I
Wayan Mudra, dkk mengatakan selain Cina, ada empat negara yang memproduksi uang
kepeng, antara lain Vietnam, Jepang, Korea, dan Indonesia. Dari jumlah yang
beredar di pasaran dunia, termasuk Bali, produksi Cina paling banyak.
Khusus
uang kepeng Cina, diproduksi sejak jaman Dinasti Han (206 SM220M). Dinasti
berikutnya juga menciptakan uang serupa, seperti Dinasti San Kuo (220-265 M),
Dinasti Suei (589-618 M), Dinasti Tang (618-906 M), Dinasti Sung (960-1279),
Dinasti Yuan (1260-1368 M), Dinasti Ming (1368- 1644 M), dan Dinasti Ching
(1644-1911 M). “Uang kepeng dari dinasti terakhir inilah sekarang banyak
beredar di masyarakat (Bali), yang cirinya terlihat pada kedua sisi bertuliskan
huruf Cina,” tulisnya.
Sementara
itu, pis bolong yang ditemukan di Bali yang disebut pis faring, dicetak pada masa pemerintahan Dinasti Keshogunan
Tokugawa di Jepang (1769 M-1860 M). “Demikian juga satu jenis pis bolong yang
oleh masyarakat Sembalun, Lombok Timur disebut pis jepun diperkirakan berasal
dari Jepang. Dalam bahasa Sembalun, negeri Jepu itu sama dengan Jepang,”
imbuhnya. (TB)