Foto Instagram @andrepriebs Desa Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa tua atau desa bali aga di Bali. Desa ini terletak di...
![]() |
Foto Instagram @andrepriebs |
Desa
Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa tua atau desa bali aga di
Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, dan tak
jauh dari objek wisata Candi Dasa. Keberadaan desa ini juga sudah tak asing
lagi di telinga masyarakat Bali, nusantara hingga wisatawan mancanegara. Dan
salah satu tradisi yang terkenal dari desa ini yakni perang pandan atau mekare,
selain juga memiliki kain tenun khas yakni kain gringsing.
Dosen
Seni Tari ISI Denpasar, I Ketut Darsana dalam Desa Tenganan Pagringsingan I menyebutkan sesuai dengan cerita rakyat dari desa Bedulu, Gianyar, menyebutkan
Desa Tenganan Pegringsingan erat kaitannya dengan Desa Bedulu. Dikatakan
sebagian besar penduduk yang ada di Tenganan Pegringsingan sekarang berasal
dari Bedulu. “Mereka mengungsi ke Tenganan yang sekarang ka-rena tahun 1343
masehi diserang oleh kerajaan Majapahit,” tulis Darsana.
Darsana
mengatakan hubungan itu masih terjalin hingga kini, dimana saat ada upacara piodalan
di Bedulu, banyak warga Tenganan Pagringsingan yang melakukan persembahyangan
ke sana, demikian juga sebaliknya. Ia juga menyebutkan sejak zaman dulu di desa
ini sudah ada kesepakatan atau awig-awig desa untuk mengurangi perusakan hutan
dan bukit. Awig-awig tersebut berupa larangan memetik buah-buahan seperti buah
durian, buah kemiri, buah pangi. “Larangan tersebut juga diikuti oleh sanksi
yang ketat bagi pelanggarnya,” imbuhnya.
Sementara
Siti Maria dan I Wayan Rupa dalam Seri Monografi Komunitas Adat Desa Adat
Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem Propinsi Bali mengatakan sejarah
desa Tenganan Pegringsingan dapat dicari dengan mencari arti kata Tenganan dan
Pegringsingan. Kata Tenganan berakar kata Tengah yang artinya arah ke tengah
atau berada di tengah. Sedangkan kata Pegringsingan mempunyai akar kata gering
dan sing (keduanya bahasa Bali). Gering artinya sakit dan sing artinya tidak,
sehingga geringsing artinya tidak sakit atau terhindar dari penyakit. “Adapun
isolasi desa itu dari kontaminasi pengaruh luar berarti bahwa desa tersebut
yang berada di tengah akan berarti terhindar dari penyakit dan pengaruh jelek lainnya,
sehingga desa Tenganan Pegringsingan akan merupakan suatu desa murni yang
terbebas dari desa dan masyarakat sekitarnya, yaitu desa-desa lainnya di Bali,”
tulisnya.
Sejarawan
Barat, R. Goris dan V. E. Korn menemukan sebuah peninggalan kuno di desa ini
yang merupakan peninggalan megalitikum. Juga ada arsitektur yang dipengaruhi
Hindu. Goris juga mengatakan jika kata Tenganan sudah ada dalam salah satu
prasasti Bali dengan kata Tranganan, yang kemungkinan kemudian berubah menjadi
Tenganan. Dan ini berkisar abad ke XIV dan ke XV masehi.
Selain
itu, dalam lontar Usana Bali dikisahkan seorang raya yang bernama Mayadenawa
yang bertahta di Bedahulu atau Peneges. Mayadenawa merupakan seorang raja yang
sakti dan sombong, dimana ia melarang masyarakat di Bedahulu (Bedulu (?)) untuk melakukan
persembahan kepada para dewa dan ke Pura Besakih. Dengan ulah Mayadenawa, para
dewa melakukan perundingan dan mengutus Bhatara lndra untuk turun ke dunia guna
melawan Mayadenawa. Setelah Mayadenawa kalah, Bhatara lndra meminta masyarakat
di Bedahulu untuk kembali melakukan persembahan kepada para dewa dan juga ke
Pura Besakih.
Upacara
yang dilaksanakan saat itu disebut dengan upacara Asua Medayadnya yakni upacara
caru atau korban dengan menggunakan seekor kuda berbulu putih bernama Oceswara.
Saat akan dilangsungkan upacara, tiba-tiba kuda tersebut menghilang. Masyarakat Peneges diperintahkan mencari kuda tersebut oleh Bhatara Indra dan membagi diri menjadi
dua kelompok yakni ke arah barat laut dan timur laut.
Rombongan
yang menuju arah barat laut tak menemukan kuda tersebut dan menetap di daerah
Beratan. Sementara yang pergi ke arah timur menemukan kuda ini dalam keadaan
mati. Saat mereka bersedih Bhatara Indra bersabda akan membalas jasa mereka.
Dikatakan Bhatara Indra, sampai dimana pun tercium bau bangkai kuda itu, maka
daerah itu akan menjadi wilayah mereka. Bhatara Indra juga meminta untuk membuat
sebuah pemujaan untuk-Nya.
Masyarakat
Peneges sepeninggal Bhatara Indra kemudian memotong-motong bangkai kuda
ini dan menyebarkannya ke beberapa arah mata angin. Sejak saat itu di antara tiga
bukit yang bernama Bukit Kangin, Bukit Kaja dan Bukit Kauh berdiri sebuah desa.
Karena terletak di tengah-tengah bukit, desa ini kemudian diberinama Tengahan
yang kemudian menjadi Tenganan.
Dikutip
dari webiste Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bali, peninggalan-peninggalan megalitik yang oleh masyarakat setempat dianggap tempat
suci atau tempat-tempat pemujaan masih bisa dilihat hingga kini. Tempat suci ini
dianggap memiliki kaitan dengan matinya kuda Onceswara yang terdiri atas:
Kakidukun
yang terletak di bukit bagian utara Desa Tenganan Pegringsingan. Bentuknya menyerupai phallus (kemaluan)
kuda dalam keadaan tegak. “Menurut anggapan masyarakat setempat, apabila ada
sepasang suami istri belum memperoleh keturunan dalam perkawinannya maka mereka
mohon ke tempat suci kakidukun, agar bisa mempunyai keturunan,” tulisnya.
Batu
Taikik atau Batu Talikik yang juga terdapat di bukit bagian
utara. Berbentuk monolith yang terbesar di wilayah Desa Tenganan
Pegringsingan. Batu Taikik dianggap sebagai bekas isi perut atau
kotoran kuda Onceswara. Upacara yang dilaksanakan disini dengan tujuan memohon
kemakmuran.
Penimbalan
terdapat di bukit Papuhur yaitu bukit di bagian barat Desa Tenganan
Pegringsingan. Berbentuk monolith yang dianggap sebagai bekas paha
kuda. Upacara yang dilaksanakan di tempat ini berkaitan dengan upacara
untuk Teruna Nyoman.
Batu
Jaran terletak di sebelah utara yang dianggap sebagai tempat matinya kuda
Onceswara.
Siti
Maria dan I Wayan Rupa menambahkan, hubungan orang Teges (Peneges, red) dengan Desa Tenganan
masih tampak hingga sekarang. Seperti saat Usaba Sambah, selalu mengundang orang-orang
Teges, dan orang-orang Teges ini, diperbolehkan bebas naik turun di Bale Agung,
maupun tempat-tempat suci lainnya, seperti penduduk Desa Tenganan sendiri. “Juga
dalam hal Mangku di Tenganan, maka dicarilah mangku di Teges untuk memimpin
upacara. Sebaliknya, apabila di Desa Teges ada upacara, orang-orang Tenganan pun
datang kesana. Mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan yang sama,”
katanya.
Demikianlah
sejarah singkat Desa Tenganan Pegringsingan yang berkaitan dengan orang-orang Peneges yang disusun dari beberapa sumber.
(TB)