Pernah menonton Tradisi Ngerebong? Tahun 2018 lalu tradisi ini ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBT) bersama tiga kebuda...
Pernah
menonton Tradisi Ngerebong? Tahun 2018 lalu tradisi ini ditetapkan sebagai warisan
budaya tak benda (WBT) bersama tiga kebudayaan lainnya yang ada di Kota
Denpasar yakni Tari Baris Wayang, Tari Baris Cina, dan ritual Basmerah.
Ngerebong
merupakan tradisi khas dari Desa Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur yang
dilaksanakan di Pura Petilan Pengerebongan. Tradisi ini dilaksanakan setiap
enam bulan sekali, tepatnya pada Minggu (Redite) Pon Medangsia atau seminggu
setelah Umanis Kuningan.
Saat
tradisi ini berlangsung, puluhan tapakan baik berupa rangda dan barong
melakukan purwa daksina (keliling) wantilan pura. Puluhan bahkan ratusan orang
akan mengalami trance (kerauhan). Tak memandang jenis kelamin, lelaki ataupun
perempuan, tua maupun muda. Saat tertentu, lelaki yang kerauhan akan mengambil
keris yang dibawa pengayah lalu menusuk (ngurek) dadanya, lehernya ataupun dahinya
dengan keris. Sementara suara gambelan terus berbunyi bertalu-talu.
Budayawan
yang juga tetua Desa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara mengatakan Ngerebong
pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada
jamannya yang dikemas dengan sistem relegi untuk memperkuat dan mengeksistensi
keberhasilan raja saat itu. Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah center
upacara, tempat upacara besar di kesmiman. “Ini ritual atau pengilen atau
prosesi dari sejarah kejayaan itu. Dimana Raja Kesiman sempat melaksanakan
ekspansi ke Sasak, Lombok,” katanya.
Ekspansi
tersebut dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran, dan
keberhasilan. Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura
Uluwatu yang dilakukan raja dan ada beberapa kaul untuk dapat kesusksesan. Pertama
raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris yang bernama Ki Cekle. Dengan
menggunakan keris itu Sasak pun ditakklukkan.
Walaupun
sudah ditaklukkan, Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik.
Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan tapi di sana menggunakan
jangkrik siluman sehingga sempat kalah dan kembali ke Uluwatu biar menang adu
jangkrik. Saat itu konon ada sabta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh
lemah atau ngereh siang hari. Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil
pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura
Dalem Kesiman berupa jepun putih dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di
Padanggalak.
Jangkirik
diadu di Sasak dan seketika berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik
siluman yang membuatnya langsung terbakar. Sebelum adu jangkrik berlangsung, ada
perjanjian antara keduabelah pihak. Kalau Kesiman kalah, wilayahnya akan
diambil Sasak dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman.
Ekspansi
tersebut terjadi sekitar tahun 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara
ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman
sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan. Ngerebong ini merupakan sebuah
perayaan atau syukuran atas keberhasilan tersebut dan dilaksanakan secara
kecil-kecilan di Puri Kesiman. Jangkrik yang memenangkan pertarungan di Sasak
diwujudkan dalam bentuk barong dan disungsung di Kebon Puri dengan nama
Jangkrik Bandaran Petak. “Dan berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu
kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman,” katanya.
Akan
tetapi tradisi ini sempat berhenti beberapa tahun dikarenakan adanya Puputan
Badung. Ketika kondisi politik berangsur membaik, tahun 1937 pengerebongan
kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai
dibangun.
Pada
pelaksanaannya tahun 1937, prosesi ini dikemas dalam tiga tahapan yang tidak
bisa terpisahkan. Pertama saat Umanis Galungan yang disebut ngebek, kedua saat
Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag, dan yang ketiga yakni
ngerebong.
Disebut
ritual ngebek atau penuh, karena saat ngebek ini biasanya masyarakat akan
memenuhi Pura Petilan. Selain itu ngebek juga berkaitan dengan kata ngerebeg.
Sedangkan ritual mapag yakni merupakan simbolisasi dari anugerah yang diterima
raja dari Pura Uluwatu. Saat mapag ada yang disebut dengan menjemput sangge atau
beras sebagai simbol kesuburan.
Sementara
untuk ngerebong sendiri memiliki tiga makna. Ngerebong pertama terkait dengan
kaul ngereh lemah dan terdiri atas dua kata yakni ngereh dan bong. Ngereh merupakan
ritual magis dan bong merupakan penyandi suara A dan U. A (akara) merupakan akasa
dan U (ukara) merupakan petiwi. Ngerebong merupakan prosesi magis penyatuan
akasa pertiwi, cetana acetana.
Ngerebong
kedua erat kaitannya dengan seni pawayangan. Ketika berbicara ngerebog, salah
satu iringannya yakni gender yang merupakan pengiring wayang ketika menari. “Menari
sama dengan mesolah, masa ulah, ada aktivitas yakni melingkar mengelilingi
panggungan dengan berlawanan arah jarum jam. Di panggungan ada uparengga atau
upakara berupa guling penyugjug atau guling babi yang belum dikebiri sebagai
simbol purus poros,” jelas Anom. Ini juga sebagai simbolisasi bumi yang
berputar pada porosnya yang disebut kosmik sehingga harimonisasi terjaga.
Ngerebong
ketiga yakni ngarebuang atau menetralisir alam dengan mengusung kain poleng
sudalama yang terdiri dari dua warna hitam dan putih. Suda artinya terang dan
mala gelap. Ketika terang gelap terkondisikan akan terbentuk harmonisasi. Konsep
sudamala ini muncul setelah ekspansi Kesiman kedua yakni ke Mengwi, Badung.
Selain
Desa Adat Kesiman yang terdiri dari 31 banjar, pengerebongan ini juga diikuti
oleh Desa Adat Pemogan, Bekul, Ubung, Suci, dan Grenceng. Dengan
dijadikannya ngerebong ini warisan budaya tak benda, Anom berharap inti dari
ngerebog tidak hilang. “Kalau pendukung mungkin akan berkembang sesuai level
pemahaman manusia. Semakin tinggi budaya semakin tinggi juga pemaknaannya, yang
penting intinya tidak hilang,” katanya. (TB)