Ilustrasi, Sumber Instagram @iwayanadiraditya Masyarakat Bali sudah tak asing lagi dengan kata leak. Bahkan mereka sering menganggap at...
![]() |
Ilustrasi, Sumber Instagram @iwayanadiraditya |
Masyarakat Bali sudah tak asing lagi dengan kata leak. Bahkan mereka sering menganggap atau mengkambinghitamkan leak sebagai penyebab suatu penyakit. Jika ada yang mengalami sakit parah dan tak kunjung sembuh akan dikatakan ‘leakin pisaga’. Leak ini sering digambarkan sebagai makhluk yang berwajah menyeramkan dengan taring panjang dan dianggap sebagai penganut ilmu hitam. Benarkah? Lalu apakah sebenarnya yang disebut leak?
Ngurah
Nala dalam Usada Bali (hal. 180)
menjelaskan leak atau leyak merupakan sosok tubuh manusia yang tampak seperti
bhuta atau binatang. Karenanya orang barat menyebutnya dengan ilmu sihir atau
black magic. “Mata orang disulap atau disihir dengan suatu kekuatan tertentu
agar apa yang ada di depannya tampak seperti yang diinginkan oleh penyihirnya,”
tulis Ngurah Nala.
Lebih
lanjut dikatakan, berdasarkan wawancara yang dilakukannya dengan beberapa
balian, orang yang belajar ngeleak akan datang ke kuburan pada tengah malam dan
waktu paling baik yakni saat tengah malam ketika Kajeng Kliwon. Sarana yang
dibawa yaitu sanggah cucuk yang titancapkan di tanah kuburan.
Selanjutnya
orang tersebut akan berdiri di depan sanggah cucuk dengan kaki mendengkleng.
Rambut dibiarkan terurai menutupi muka, lalu sambil menari mengelilingi sanggah
cucuk ke arah kiri (kiwa) sebanyak tiga kali. Kaki diangkat secara bergiliran
saat mengelilingi sanggah cucuk. Juga sambil memanggil Bhatari Durga. Usai
ritual tersebut, barulah ia akan membaca lontar tentang ajaran tersebut. “Atau
ada pula yang belajar dari orang yang telah mahir sebagai guru pangeleyakan,”
tulisnya.
Semua
tahapan ini dijalankan dengan sangat rahasia, dan beberapa bulan ia akan bisa
merubah diri tampak seperti binatang (kera, babi, anjing, kelelawar) maupun dapat
berwujud mobil, sepeda motor, cikar, dan lainnya.
Miguel
Covarrubias dalam Pulau Bali Temuan yang
Menakjubkan (hal. 384) menuliskan, hal pertama yang dilakukan oleh
seseorang yang belajar menjadi leyak yakni menghafalkan kata-kata magis dari
sebuah naskah kuno, yang diulang-ulang dengan urutan berirama sementara dalam
sikap meditasi, nglekas, menempatkan para murid pada keadaan demam kesurupan.
Juga ada sesaji seperti kerucut nasi (tumpeng) warna-warni, uang logam, hingga
ayam kurban dengan warna tertentu.
Semua
ritual ini dilaksanakan tengah malam biasanya di tanah pekuburan, pura bagi si
mati, perempatan, campuhan, di bale agung, di tanah kosong yang tak didiami
manusia, di tempat sembahyang keluarga, maupun tempat gaib lainnya. “Demikian
banyak bagi leyak-leyak sederhana berubah menjadi burung, babi, monyet, ular
dan bahkan harimau. Terdapat perubahan bentuk yang lebih kuat dan berbahaya
bagi tahap pelatihan lebih lanjut, untuk setan-setan yang lebih tegas dan para
rangda, mampu menimbulkan segala macam gejala gaib,” tulisnya.
Dari
narasumber yang Covarrubias wawancarai, ia menuliskan perempuan lebih mudah
belajar menjadi leyak ketimbang laki-laki. Demikian pula orang-orang yang tidak
punya lekuk antara bibir dan hidungnya memiliki kecenderungan untuk menjadi
leyak. “Pemuja leyak penuh dengan kegaduhan manifestasi seksual; leyak muncul
telanjang dengan alat kelamin yang sangat dibesar-besarkan yang mengeluarkan
api,” katanya.
I
Gde Mahendra, seseorang yang mengaku pernah belajar ngeleak dari seorang guru
sebagaimana ditulis Jiwa Atmaja dalam Jejak
Bhairawa di Pulau Bali mengatakan syarat seseorang sebelum belajar ilmu
leak yakni harus diketahui otonan atau hari kelahirannya menurut kalender Bali.
Dicontohkannya, jika memiliki otonan Sukra Pon Medangsia, dewanya yakni Brahma,
sehingga sifatnya cenderung emosional dalam hal apapun dan digandrungi
perempuan.
Setelah
diketahui otonannya barulah pelajaran dimulai dengan melakukan ngewintenan Brahma Widya atau ngerangsukang kawisesan. Pelajaran akan
dimulai dengan menentukan hari baik (dewasa ayu). Pelajaran dasar yakni sang
murid diperkenalkan dengan aksara wayah atau modre. Selanjutnya tubuh sang
murid dirajah oleh gurunya dari atas hingga bawah. “Semua aktivitas ini
dilakukan di kuburan pada hari Kajeng Kliwon Nyitan,” tulis Jiwa Atmaja.
Jiwa
Atmaja juga menuliskan ciri-ciri orang yang bisa ngeleak. Hal ini ia dapatkan
dari seorang informannya, dimana ciri-ciri fisik orang melaksanakan pangeleakan
yakni matanya sering berkedip-kedip, pada kepala bagian depannya (ubun-ubun)
mengalami kebotakan, pada wajah tampak bintik-bintik seperti jerawat. Juga
seringkali mengalihkan pandangannya atau pembicaraan, jika matanya ditatap
secara langsung atau diajak bicara.
I
Wayan Karji dalam Leak, Ilmu Hitam dari
Bali mengatakan leak merupakan ilmu hitam. Ia menuliskan ada banyak jenis
pengeleakan yakni Garuda Putih, Capur Tala, Kebo Wangsul, Cambra Berag, Bintang
Sumandang, Ratna Sudamala, Pudak Sategal, Waringin Sungsang, Waringin Pitu,
Blegodawa, Jaka Tua, Ratna Pejajaran, Sampian Emas, Kebo Komak, Misa Wedana,
Liak Gundul, Jaran Guyang, Lenda dan Lendi, dan yang lainnya. Semua jenis ini
menggerakkan bebai yakni I Jayasatru merupakan yang tertua, I Inggo, I Nyoman
Numit, dan I Ketut Belog. Keempatnya memiliki anak buah masing-masing 27 orang
dan jika disatukan menjadi 108 bebai.
Ditambahkannya,
jika seorang yang menekuni ilmu leak bisa menguasai keempat raja bebai itu,
maka ia pun akan mampu menguasai 108 bebai. Artinya ia akan mampu membuat 108
jenis penyakit bahkan lebih.
Sementara
itu, I Wayan Yendra (Mangku Alit Pekandelan) dalam Leak Ngamah Leak menuliskan, leak merupakan kekuatan yang sifatnya
netral. Dikarenakan adanya perbedaan motivasi atau tujuan yang membuat leak
mempunyai warna hitam dan putih atau kiwa dan tengen. Leak putih atau penengen
ini juga disebut leak ngisep sari.
Yendra
menuliskan jika leak dilandasi motivasi negatif dengan tujuan menghancurkan disebut
black magic, ilmu hitam ataupun secara umum disebut ilmu pengiwa. “Perbedaan
kedua ilmu ini dilukiskan oleh naskah kuno dalam sebuah ilustrasi rerajahan
dengan 2 figur sentral Bhatara Guru dan Bhatara Kala. Bhatara Guru memegang
Pustaka Petak, sedangkan Bhatara Kala memegang Pustaka Cemeng. Kedua pustaka
ini kemudian menjadi referensi bagi pengembangan berbagai praktek leak,” tulis
Yendra. (TB)