Ist. Di Bali, sejak ratusan tahun lamanya, telah dikenal beberapa ilmu gaib atau mistik. Ilmu ini masih dipercaya hingga sekarang. Bahkan...
Ist. |
Di
Bali, sejak ratusan tahun lamanya, telah dikenal beberapa ilmu gaib atau
mistik. Ilmu ini masih dipercaya hingga sekarang. Bahkan beberapa di antaranya
masih dipelajari. Selain itu, ada juga yang dibuatkan seminar pengeleakan agar
tak punah.
Beberapa
ilmu gaib yang masih dipercaya yakni sebagai berikut.
1. Cetik
Cetik
merupakan racun tradisional Bali yang diolah dengan bahan-bahan tertentu. Agar
cetik tersebut manjur, konon ada mantra dan pantangan yang mesti dilakukan.
Menurut
Spiritualis dibidang pengobatan, Jro Nyoman Darmayuda dari Desa Payangan,
Kecamatan Marga, Tabanan, seseorang yang kena cetik ini sulit terlacak dalam
ilmu pengobatan medis.
“Orang
kena racun (cetik) di medis pasti dibilang maag, perut kembung, asam lambung.
Setiap hari kondisinya akan semakin lemah karena digerogiti cetik. Dan itu
tidak bisa dideteksi di medis. Nanti 4 atau 5 tahun habis berat badannya,”
katanya saat ditemui di kediamannya.
Ia
menambahkan, jika terkena cetik Bali pasti ginjal seseorang akan bengkak. “Kalau
ada aura negatif, saat diambil pasti akan merasakan sakit dan teriak. Dan
bagaimanapun juga magic tidak akan bisa dilihat,” katanya.
Dengan
kemajuan jaman saat sekarang ini, ia mengatakan sarana magic sudah ada di
tangan. Misal saat diberikan kopi dan di tangan pemberinya sudah ada magicnya
dan saat kopi dipegang itu sudah ada racunnya. Seseorang tidak akan bisa
melihat racun karena semua angin, magic, desti tidak bisa dilihat.
Menurutnya
jika sakit sampai dua atau tiga kali berobat ke medis tapi belum ada perubahan,
maka harus sigap menyikapinya. “Harus sigap mengambil langkah, ada apa ini.
Kalau sakit medis belum dua tiga kali berobat mungkin sudah ada perubahan.
Kalau sampai dua tiga kali tambah parah harus cepat ngambil langkah. Kita harus
nunas pemargi (meminta petunjuk) ke niskala. Kita minta petunjuk sama Beliau,”
imbuhnya.
Saat
ini juga banyak yang kena stroke ringan saat umur masih muda, baru 25 tahun
bahkan 30 atau 40 tahun. Hal tersebut penyebabnya secara medis 20 persen dan
non medis hampir 50 persen bahkan lebih.
“Bebrapa
kali datang ke rumah sakit dibilang urat kejepit bahkan sakitnya tambah parah.
Urat kejepit betul dalam medis, namun pasti ada unsur negatifnya,” katanya.
Selain
itu terkait penyakit diabetes, jika diabet kering maka itu murni penyakit medis
dan betul-betul tidak ada gangguan. “Kalau diabet basah, 90 persen adalah
penyakit nonmedis. Karena borok dari kecil, dua bulan sudah lubang besar. Kalau
sudah begitu satu-satunya jalan maka kita harus yakin dan percaya dengan unsur
niskala,” imbuhnya.
2. Bebai
Menurut
Dosen Sastra Bali Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa sebagaimana yang ia
baca dalam lontar Usadha Bebai, bebai tersebut dibuat dengan sarana bayi yang
digugurkan. “Dalam Usadha Bebai, bebahi berasal dari bayi hasil pengguguran
kandungan. Setelah ditanam kemudian diambil, dirawat sedemikian rupa,” kata
Guna.
Bayi
tersebut diupacarai sebagaimana bayi biasanya yang hidup. Dilakukan upacara 12
hari, upacara tiga bulanan, otonan sehingga energi yang ada di dalam bayi
tersebut bisa menganggap orang yang memeliharanya itu sebagai orang
tuanya.
“Karena
ada rumus tertentu yang bisa nenarik jiwa dari seseorang melalui sebuah media
sehingga datang lagi. Oleh karena itu bayi tersebut akan tumbuh dan menghamba
pada yang memelihara,” katanya.
Nantinya,
bebai ini perlu darah untuk makanan, kalau tulidak darah manusia, bisa darah
ayah. “Inilah nantinya yang dikirim sehingga tumbuh dan dikirim masuk ke
tubuh seseorang dan ini juga bisa diperjualbelikan,” imbuhnya.
Orang
yang dimasuki bebai ini disebut dengan bebainan. Guna menambahkan, dominan
anak bebainan itu adalah wanita. “Asumsinya berkaitan dengan siklus bulanan
karena disaat titik tertentu ada perasaan sensi istilahnya, itu yang
dimanfaatkan sehingga masuk ke dalam tubuhnya,” katanya.
Bahkan
seseorang yang bebainan tersebut bisa lost control dan juga dapat digerakkan
oleh orang yang mengirim bebai tersebut. Sehingga jangan biarkan diri
dikuasai amarah karena amarah akan memudahkan hal-hal negatif masuk ke dalam
diri.
Guna
menambahkan saat diri dikuasai rasa amarah atau rasa benci, maka hal-hal yang
negatif lebih mudah masuk ke dalam diri daripada hal-hal negatif. “Penyakit non
medis dimasukkan dengan menggunakan kebencian. Apalagi ada masalah. Rasa marah
adalah sarana. Sehingga orang yang iri akan mencari kesalahan kita sehingga
kita marah,” kata Guna.
Ketika
wak parusia atau saat kita mengeluarkan kata-kata amarah itu sebagai
sarana yang sangat baik. “Seseorang yang ingin mengirim penyakit harus memiliki
kontak dengan sasarannya. Jika tidak maka dia tidak akan bisa. Itu sebagai
landasan untuk menyakiti,” imbuhnya.
Untuk
mengobati orang yang bebainan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
lembar daun sirih.
Dalam
buku Aksara Bali dalam Usadha yang disusun Ngurah Nala, hal 136 disebutkan jika
balian (dukun) dapat menghubungkan apinya dengan api orang sakit maka pasien
bisa ditolong. Dipergunakan sarana tertentu disertai dengan penerapan dasaksara
agar dapat memasukkan api (Ang) ke dalam tubuh pasien.
Kalau
apinya (Ang) sudah dipusatkan di pusar (nabhi), diambil tiga lembar daun sirih
gang tiap lembarnya digambari atau ditulisi dengan dasaksara. Dasaksara itu
yaitu sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, dan yang.
Ketiga
daun sirih tersebut dilipat menjadi satu dan dibubuhi kapur seperti orang makan
sirih. Mantra yang menyertainya yaitu mantra pasupat dan mantra
pangurip. Pasien yang sakit disuruh mengunyah daun sirih tersebut.
Bila
pasien menjerit-jerit, berarti bebahi yang berada dalam tubuhnya kepanasan oleh
api (Ang) yang baru dimasukkan melalui kunyahan daun sirih. Penyakitnya akan
lari ketakutan ke luar dari tubuh pasien. Akhirnya pasien menjadi sadar dan
sembuh kembali seperti semula, menjadi normal.
Namun
dilanjutkannya, kalau bebahi lebih kuat, tidak mempan dibakar dengan api balian
usadha, maka penyakitnya tidak bisa disembuhkan dan akan tetap bermukim di
dalam tubuh pasien.
3. Ilmu Pangeleakan
Di
Bali sejak dulu telah dikenal adanya leak. Walaupun tak banyak orang yang bisa
menjumpai wujud leak, tapi kebanyakan orang percaya bahwa ilmu leak itu ada. Dalam
buku Leak Ngamah Leak karangan I Wayan Yendra (Mangku Alit Pakandelan) pada
halaman 55 disebutkan terdapat empat cara orang bisa mendapatkan ilmu
pangeleakan.
“Pertama,
dengan cara meminjam sabuk pangleakan pada bapak, ibu, kakek, nenek, kumpi,
saudara, teman, dan sebagainya. Maka dengan menggunakan sabuk itu, anada akan
bisa ngeleak,” tulis Yendra dalam buku itu.
Selain
itu, cara kedua yaitu dengan jalan membeli pada seorang balian pangiwa. Ketiga
dengan cara berguru pada balian pangiwa atau orang yang bisa ngeleak.
Dan
yang keempat yaitu dengan cara belajar sendiri dari lontar atau buku tentang
pangeleakan. Selain itu, dalam wayang Cenk Blonk yang berjudul Ludra Murti
dengan dalang I Wayan Nardayana juga dikatakan oleh tokoh Tualen ada empat
jenis pangeleakan.
Pangeleakan
jenis pertama disebut pangeleakan dewa, yaitu pangeleakan anugrah Dewa karena
melakukan tapa semadhi. Yang kedua pangeleakan melajah, yang didapat melalui
proses pembelajaran dengan mempelajari tutur aji ugig, dharma weci, atau
berguru.
Selanjutnya
ada pangeleakan keturunan, di mana saat orang yang bisa ngeleak, saat akan
meninggal ilmunya berpindah kepada keluarga yang menungguinya. Selanjutnya ada
pangeleakan dengan membeli pada balian atau dukun.
Sementara
itu, dalam buku Jejak Bhairawa di Pulau Bali karya Jiwa Atmaja halaman 95,
dikatakan: beberapa balian yang bersedia memberi sedikit keterangan hanya
mengatakan, kalau mau belajar leak datang saja ke kuburan pada tengah malam
yang pekat. Lebih lanjut dikatakan, paling baik adalah ketika tengah malam
bulan mati, hari Kajeng Kliwon dengan membawa sanggah cucuk yang ditancapkan di
tanah kuburan.
Sementara
itu, dalam catatan yang dimiliki oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertha Bhuana,
dari Gria Batur Giri Murti, Glogor, Denpasar, disebutkan beberapa tingkatan
ilmu leak dan jenis perubahannya. Leak tingkat pertama atau tingkat paling
rendah wujudnya berupa bojog atau kera abu-abu.
Pada
tingkatan yang kedua wujudnya berupa Kambing. Setelah itu pada tingkatan yang
ketiga akan menjadi Bangkal atau Bangkung. Tingkat empat perubahannya adalah
menjadi ular, sepeda motor, dan mobil.
Tingkat
lima berubah menjadi gegendu. Saat mencapai tingkatan keenam akan menjadi bade,
serta ayam putih. Berwujud bojog putih atau kera putih pada tingkatan ketujuh.
Saat
mencapai tingkat kedelapan menjadi rarung, waringin sungsang (beringin
terbalik), dan anjing kurus. Pada tingkatan kesembilan menjadi kasa dan jaka
punggul. Leak pada tingkatan kesepuluh akan menjadi rangda. (TB)
Berikut video lengkapnya