net. Aswatama merupakan tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia juga merupakan makhluk ciranjiwi atau makhluk abadi dan konon masih hidup h...
net. |
Aswatama
merupakan tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia juga merupakan makhluk
ciranjiwi atau makhluk abadi dan konon masih hidup hingga sekarang. Ia adalah
seorang brahmana-kesatria, putra Drona dengan Krepi. Mahabharata menceritakannya
sebagai putra kesayangan Drona.
Aswatama
dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta, setelah melakukan
pembunuhan terhadap lima putra Pandawa dan mencoba menggugurkan janin
yang dikandung oleh Utari, istri Abimanyu.
Mahabharata mendeskripsikan
Aswatama sebagai lelaki bertubuh tinggi, dengan kulit gelap, bermata hitam, dan
dilekati oleh sebuah permata di dahinya. Sebagaimana Bisma, Drona, Krepa, Karna,
dan Arjuna, ia merupakan seorang ahli ilmu perang dan dipandang sebagai
salah satu kesatria ulung pada masanya.
Aswatama
juga menyandang gelar maharathi, dan merupakan salah satu jenderal andalan Korawa dalam perang
Kurukshetra. Setelah perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia
bersama Kertawarma dan Krepa yang menjadi penyintas dari
pihak Korawa.
Oleh
karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat
tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta.
Seperti
halnya Resi Parasurama dan Resi Byasa, Aswatama juga dikenal
sebagai resi terkemuka.
Menurut
mitologi Hindu, Aswatama akan menjabat sebagai penyandang gelar wyasa pada mahayuga ke-29,
di manwantara ke-7. Aswatama juga akan menjabat sebagai salah satu
resi di antara tujuh resi agung (Saptaresi) pada manwantara ke-8.
Aswatama
terlahir dengan sebuah batu permata (mani) yang melekat di dahinya. Saat kecil
ia hidup dalam kemiskinan. Mahabharata mendeskripsikan bahwa keluarga
Aswatama bahkan tidak mampu menyediakan susu, minuman yang lazim pada
masyarakat saat itu. Demi memberikan kehidupan yang lebih layak kepada
Aswatama, Drona mencoba mencari bantuan kepada teman lamanya yang bernama Drupada,
tetapi berujung pada permusuhan karena Drupada menghina status sosial Drona.
Status
sosial keluarganya mengalami perubahan setelah Drona diangkat sebagai guru
kerajaan oleh keluarga Dinasti Kuru di Hastinapura. Ia mengenyam
ilmu militer bersama dengan para pangeran Dinasti Kuru, yaitu seratus Korawa (putra Dretarastra,
Raja Hastinapura) dan lima Pandawa.
Kekuatannya
hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Di antara para pangeran
Kuru, ia berteman baik dengan Duryodana, putra sulung Dretarastra.
Mereka berdua memiliki kecemburuan kepada Pandawa. Duryodana merasa bahwa Yudistira adalah
penghalangnya dalam mewarisi takhta Hastinapura, sementara bakat Arjuna membuat
Aswatama iri karena merasa bahwa kasih sayang ayahnya telah terbagi, sebab
Arjuna adalah murid kesayangan Drona.
Dalam
rangka menyelesaikan pendidikan para pangeran Kuru, Drona memerintahkan
para Korawa untuk melakukan tugas akhir, yaitu mengalahkan Drupada,
Raja Panchala, dan membawanya hidup-hidup ke hadapan Drona. Setelah para
Korawa gagal melaksanakan tugasnya, Drona mengutus Arjuna dan
saudara-saudaranya untuk menunaikan tugas tersebut.
Arjuna
berhasil membawa Drupada ke hadapan Drona. Drona menjelaskan bahwa dendamnya
kepada Drupada telah berakhir pada saat itu juga. Ia juga membagi kerajaan
Panchala menjadi dua wilayah, dan mengangkat Aswatama sebagai raja di sebagian
wilayah Panchala tersebut.
Dalam
kitab Sauptikaparwa dikisahkan bahwa pada hari ke-18 (hari
berakhirnya berperang), penyintas perang dari pihak Korawa ada tiga orang:
Aswatama, Krepa, dan Kertawarma. Setelah perang di hari terakhir
usai, mereka mendapati bahwa Duryodana terluka parah setelah berduel
dengan Bima.
Dalam
keadaan sekarat, Duryodana mengangkat Aswatama sebagai panglima tertinggi
Korawa, dan memohon agar ia membalaskan dendam Duryodana. Aswatama—yang juga
memiliki dendam—berjanji untuk membunuh para perwira pihak Pandawa demi
Duryodana setelah perang berakhir secara resmi.
Terinsiprasi
dari burung hantu yang menyambar gagak di tengah malam,
Aswatama menggagas untuk melakukan serangan pada malam hari. Namun niatnya
ditentang oleh Krepa karena itu merupakan perbuatan yang tidak adil. Aswatama
pun mengutarakan bahwa peperangan memang tidak adil, dan semua pihak memang
tidak adil. Pada akhirnya Krepa dan Kertawarma tetap mengikuti instruksi
Aswatama untuk melakukan serangan malam di perkemahan para Pandawa.
Di
pintu gerbang perkemahan, mereka bertiga dihadang raksasa penjaga. Segala
senjata yang diluncurkan Aswatama tidak mampu mengalahkan makhluk itu. Kemudian
Aswatama memohon bantuan Dewa Siwa. Sang dewa muncul lalu memberikan
kesaktian bagai Rudra kepada Aswatama, yang membuatnya tak
terkalahkan dan berhasil merangsek masuk dengan mudah ke perkemahan Pandawa.
Pertama-tama,
Aswatama mencari tenda Drestadyumna lalu membunuhnya. Keributan yang
terjadi membuat Yudamanyu dan Utamoja bangun lalu bergegas
ke tenda Drestadyumna. Namun mereka terbunuh oleh Aswatama yang telah
mendapatkan kekuatan dari Siwa. Aswatama juga membunuh Pancakumara (lima
putra Pandawa), Srikandi, dan para kesatria yang ada di perkemahan,
kemudian mengamuk bagaikan Rudra.
Sementara
itu, Krepa dan Kertawarma berjaga di gerbang perkemahan, dan membunuh para
prajurit yang melarikan diri dari amukan Aswatama. Setelah melakukan
pembantaian di perkemahan Pandawa, ketiga kesatria kembali menghadap Duryodana
dan menyatakan bahwa para perwira Panchala (Drestadyumna, Srikandi,
Yudamanyu, Utamoja) telah binasa, dan anak-anak para Pandawa telah punah.
Duryodana
merasa senang mendengarkan berita keberhasilan Aswatama; sesuatu yang tidak
dapat dilakukan oleh Bisma, Drona, dan Karna untuknya. Tak
lama kemudian, Duryodana menghembuskan napas terakhirnya. Aswatama, Krepa,
Kertawarma, beserta para prajurit Korawa yang tersisa melaksanakan
upacara pembakaran jenazah untuknya.
Pada
saat serangan malam, Pandawa sedang tidak berada di perkemahan
sehingga selamat dari amukan Aswatama. Seorang kusir kereta Drestadyumna
berhasil meloloskan diri dari serangan Krepa dan Kertawarma di pintu gerbang.
Ia melaporkan kejadian kepada Yudistira sehingga para Pandawa bergegas kembali
ke perkemahan mereka. Ketika kembali, mereka mendapati bahwa perkemahan telah
porak poranda. Sementara itu, Aswatama mengungsi ke asrama Resi Byasa setelah
menyesali perbuatannya. Pandawa memburu Aswatama hingga ke asrama sang bagawan.
Di sana, ia bertarung dengan Arjuna.
Saat
pertarungan, Aswatama memanggil senjata Brahmastra, yang dulu ingin ditukar
dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata itu ia
menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama.
Takut akan kehancuran dunia, Resi Byasa menyuruh agar kedua kesatria tersebut
menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama
yang belum diberi pengetahuan untuk menarik Brahmastra diberi pilihan agar
senjata menyerang target lain untuk dihancurkan.
Aswatama
mengarahkan senjatanya menuju rahim Utari (menantu Arjuna) yang
sedang hamil, dengan tujuan memutus garis keturunan Pandawa. Senjata itu
berhasil membakar janin Utari, tetapi Kresna menghidupkannya lagi.
Pada
akhir buku Sauptikaparwa dinyatakan bahwa Kresna mengutuk Aswatama
agar menderita kusta dan mengembara di Bumi sampai akhir zaman Kaliyuga.
Aswatama juga dipaksa menyerahkan batu permata berharga (mani) yang melekat di
dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata,
penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para dewa, raksasa, detya,
dan naga.
Setelah
permatanya dilepaskan, bekas lekatannya meninggalkan luka di dahinya, yang
mengeluarkan darah berbau tidak sedap yang tidak akan pernah berhenti mengalir
sampai akhir zaman Kaliyuga.
Di India masa
kini, Aswatama telah menjadi legenda urban, dan dipercaya masih hidup
serta mengembara ke berbagai kuil Siwa, memohon agar lukanya dapat
disembuhkan. (TB)