Enam pura ini dipercaya sebagai sendi spiritual di pulau Bali. Keenam pura ini disebut sebagai Sad Kahyangan. Sad Kahyangan atau Sad Kah...
Enam
pura ini dipercaya sebagai sendi spiritual di pulau Bali. Keenam pura ini
disebut sebagai Sad Kahyangan.
Sad
Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagat dapat diartikan sebagai enam pura utama yang
menurut kepercayaan masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali. Seperti
pura pada umumnya, pura ini juga sebagai tempat untuk sembahyang, sembah bhakti
dengan puja astawa agar selalu diberikan keselamatan dan kesucian lahir bathin.
Menurut
kepercayaan Bali, pura-pura ini adalah poin penting dari pulau itu, dan
dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan spiritual bagi Bali. Berikut
adalah pura yang termasuk ke dalam Sad Kahyangan.
1. Pura Besakih
Pura
Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem,
Bali, Indonesia. Kompleks Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat yakni Pura
Penataran Agung Besakih dan 18 Pura Pendamping yakni 1 Pura Basukian dan 17
Pura Lainnya termasuk pura kawitan.
Pura
Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara
semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung
adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak
jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura
Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 pelinggih utama yang disebut Padma
Tiga simbol stana dari Tri Purusha yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.
2. Pura Lempuyang Luhur
Pura
Lempuyang Luhur ialah sebuah pura yang terletak di bagian timur Pulau Dewata,
tepatnya berada di Kabupaten Karangasem. Jika mengacu pada Lontar Kutara Kanda
Dewa Purana Bangsul, yang menyatakan bahwa Sang Hyang Parameswara atau Sang
Hyang Pasupati membawa gunung-gunung yang ada di Bali dari Jambudwipa yaitu
India (Gunung Mahameru).
Dalam
Lontar tersebut disebutkan pula bahwa Sang Hyang Parameswara atau Hyang
Pasupati menugaskan putra beliau yang bernama Sang Hyang Agni Jaya Sakti untuk
turun ke Bali dengan tujuan menjaga kesejahteraan Pulau Bali.
Sang
Hyang Agni Jaya Sakti kemudian beristana di Pura Luhur Lempuyang beserta
beberapa dewa lainnya ikut turun ke Bali. Maka tak heran jika Pura Lempuyang
menjadi begitu penting di kalangan umat Hindu.
Sedangkan
berdasarkan Lontar Markandeya Purana, Pura Lempuyang didirikan oleh Rsi
Markandeya sekitar abad ke-8 M sebagai tempat persembahyangan sekaligus
menyebarkan ajaran agama Hindu.
3. Pura Goa Lawah
Pura
Goa Lawah merupakan sebuah pura yang terletak di Desa Pasinggahan, Kecamatan
Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali, yang berjarak sekitar 40 km dari ibu kota
Bali, Denpasar. Pura Goa Lawah dikenal masyarakat karena adanya sebuah gua pada
bagian utama pura ini, yang didalamnya terdapat sekumpulan kelelawar.
Kata
Goa berarti Goa/Gua (lubang) dan Lawah di Bali memiliki arti kelelawar, jadi
Goa Lawah memiliki arti "gua yang dihuni oleh kelelawar". Dari ribuan
jumlah pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus Pura Khayangan Jagat,
salah satunya Pura Goa Lawah. Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara
pantai dan perbukitan dengan sebuah gua yang dihuni beribu-ribu kelelawar.
Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan salah satu kayangan
jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan
fungsi sebagai pusat nyegara-gunung.
Dalam
beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa
pura-pura besar yang berstatus Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali
dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan pada tahun 929 Saka atau 1007
Masehi. Fakta ini dibuktikan dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu
Kuturan.
Sebagaimana
dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung, Mpu Kuturan
datang ke Bali abad X saat pemerintahan dipimpin Anak Wungsu, adik Raja
Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba,
Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan
kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte
tersebut.
Kedatangan
Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama
mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Sang Hyang
Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan.
4. Pura Uluwatu
Pura
Luhur Uluwatu atau Pura Uluwatu merupakan pura yang berada di wilayah Desa
Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung. Pura yang terletak di ujung barat daya pulau
Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut
ini merupakan Pura Sad Kayangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai
penyangga dari 9 mata angin.
Pura
ini pada mulanya digunakan sebagai tempat pemujaan oleh seorang pendeta suci
dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan. Pura ini juga tempat Ngeluhur atau
moksahnya Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali pada akhir tahun 1550. Kata
inilah yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu.
Piodalan
di Pura Uluwatu jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari.
Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa Rudra
5. Pura Luhur Batukaru
Pura
Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa.
Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur
Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh. Pura
Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten
Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan
Gunung Batukaru.
Di
dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi,
sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur
Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Penggagas pembentukan dari Sad Kahyangan
adalah Mpu Kuturan.
6. Pura Pusering Jagat (Pura
Puser Tasik)
Pura
Pusering Jagat adalah istilah untuk menyebut pura tertentu diantara 6 Pura
Kayangan Jagat. Pusering Jagat sendiri berarti Pusat Dunia atau Pusat Semesta.
Pura ini berlokasi di Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar
Bali.
Temuan
terpenting di tempat ini adalah sebuah bejana bernama "Bejana Pejeng"
yang terbuat dari batu berbentuk silinder dan berguna sebagai penyimpanan air
suci (tirtha). Seperti kebanyakan peninggalan Hindu lain, di bagian permukaan
bejana tersebut terdapat relief yang menggambarkan cerita Samudramanthana, yang
bercerita tentang para Dewa dan Asura yang melakukan pengadukan lautan susu
(Ksirarnawa) untuk mencari tirta amerta (air suci kehidupan). (TB)
Berikut video lengkapnya