Istimewa Ida Pedanda Gede Made Gunung dikenal karena pemikirannya yang banyak ditayangkan dalam program dharma wacana di Bali TV. Ida dian...
Istimewa |
Ida
Pedanda Gede Made Gunung dikenal karena pemikirannya yang banyak ditayangkan
dalam program dharma wacana di Bali TV. Ida dianggap sebagai pedanda yang
memiliki pandangan progresif jauh ke depan. Beliau lebar atau berpulang pada Rabu,
18 Mei 2016. Beliau lebar di RSUP Sanglah pada pukul 04.45 Wita, setelah sempat
menjalani perawatan selama 9 hari karena stroke.
Mari
kita mengenang sosok beliau selama masih hidup.
Ida
Pedanda Gede Made Gunung merupakan seorang pedanda dari Griya Gede
Purnawati Kemenuh, Desa/Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Beliau pun seolah-olah
mengubah citra Pedanda dari yang sekadar memimpin pelaksanaan upacara, menjadi
pen-Dharma Wacana. Beliau adalah pencetus dharma wacana ini. Dalam menyampaikan
dharma wacananya, beliau mampu menerjemahkan filsafat Agama Hindu yang rumit
kepada masyarakat umum dengan bahasa yang sederhana, jelas dan lugas disertai
selera humor yang tinggi.
Beliau
terlahir dengan nama Ida Bagus Gede Suamem pada tahun 1952. Menamatkan pendidikan
sekolah dasar di SD Blahbatuh pada tahun 1965. Selanjutnya melanjutkan
pendidikan menengah pertama di SMPN di Gianyar sampai tamat pada tahun 1968.
Kemudian bersekolah ke Taman Guru Atas di Sukawati.
Beliau
sempat bekerja sebagai Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) Gianyar tahun
1972 sampai 1974. Lalu beralih profesi menjadi guru Sekolah Dasar di Banjar
Mawang, Lodtunduh, Ubud tahun 1975 sampai 1983, kemudian pindah
mengajar ke SD 3 Pering pada tahun 1983 sampai 1985.
Selanjutnya
beliau ditunjuk sebagai Koordinator Penyuluh Lapangan Agama Hindu Kecamatah Blahbatuh
dari 1985 sampai 1987 dan selanjutnya kembali mengajar sebagai guru di SD
7 Saba pada tahun 1987 sampai 1994. Tahun 1992 beliau sempat mendapat
peringkat sebagai guru teladan Kecamatan Blahbatuh.
Disela-sela
kesibukannya mengajar sebagai guru, beliau melanjutkan pendidikan di Institut
Hindu Dharma yang sekarang beralih menjadi Universitas Hindu Indonesia hingga
memperoleh gelar Sarjana Muda pada tahun 1986. Selain sebagai guru
sekolah, beliau juga adalah seorang pemegang sabuk hitam Karate dan
pernah bergabung dalam DPD Gojukai (Dewan Sabuk Hitam) tahun 1988-1991.
Beliau
aktif dalam kegiatan organisasi sejak akhir tahun 1960-an. Mula-mula dibidang
olah raga, menjadi pemain voli seleksi PON Bali, menjadi pelatih karate (sabuk
hitam), dan kemudian organisasi keagamaan. Dalam organisasi agama beliau mulai
aktif di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) kecamatan Blahbatuh, PHDI
Gianyar (1989-1994), PHDI Bali (1994-2001), dan PHDI Bali versi Campuhan
(2001-2006).
Selanjutnya
beliau madiksa atau menjadi pedanda pada tahun 1994 dan sejak tahun
2002 sampai menjelang akhir hayatnya, beliau menjadi dosen luar biasa di
Fakultas Usada Universitas Hindu Indonesia. Sementara itu, dua tahun sebelum madiksa,
beliau sudah mulai membenahi pola pikir, perkataan dan perbuatan sebagai
persiapan memasuki dunia kependetaan.
Suatu
hari, kira-kira 4 bulan menjelang upacara Madiksa, beliau pergi
mengunjungi Rumah Sakit Sanglah untuk melihat mereka yang dirawat
disana. Beliau berjalan mengunjungi Unit Gawat Darurat, mengunjung
bangsal-bangsal pasien hingga berakhir di depan kamar mayat. Beliau ingin
merasakan bagaimana kondisi dan penderitaan mereka yang sedang sakit. Setelah
itu beliau mengunjungi Rumah Sakit Wangaya untuk tujuan yang sama.
Beliau
juga mengunjungi Supermarket, sekadar untuk melihat bagaimana anak-anak bermain
dan menikmati santapan. Disana beliau sempat diikuti oleh satpam, yang
barangkali merasa agak janggal karena melihat beliau yang berjenggot, berambut
panjang dan menggunakan destar datang ke tempat seperti itu. Setelah itu beliau
mengunjungi supermarket yang lain yang baru saja dibuka. Kemudian beliau
melanjutkan perjalanan ke pasar burung, mendengarkan kicauan burung dan melihat
berbagai jenis peliharaan yang dijual di sana.
Disamping
itu, beliau juga pernah ikut menjadi sopir truk mengikuti teman beliau yang
menjadi sopir truk untuk mengirim pasir dari Klungkung ke daerah lain di Bali.
Beliau melakukan itu untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi sopir truk.
Setelah
beliau merasa sudah cukup, mulailah beliau menyusun program tangkil atau
menemui para sulinggih di Bali. Sebagaimana tertulis dalam buku hariannya,
tercatat beliau pernah tangkil kepada 325 sulinggih.
Semuai
itu beliau lakukan, sebagai persiapan mental untuk memasuki dunia kependetaan. Adapun
tujuan utama beliau menjadi Pedanda bukan semata hanya untuk muput upakara,
melainkan juga turut serta melakukan peningkatan kualitas kerohanian umat.
Ida
Pedanda Made Gunung juga dikenal kritis dalam menyikapi permasalahan
pelaksanaan upacara ritual Hindu di Bali, terutama Manusia Yadnya dan Pitra
Yadnya, yang selama ini kerap digelar dengan megah dan banyak menghabiskan
biaya. Menurut beliau, agama Hindu tidak pernah memiskinkan umatnya. Atas
dasar itulah, beliau mengingatkan agar setiap umat tidak terpaku melaksanakan
upacara keagamaan yang berdasarkan prinsip nak mule keto atau memang begitu.
Putra
kedua almarhum Ida Bagus Made Purwita Suamem sebagaimana dikutip dari NusaBali
mengatakan, dalam sebuah kesempatan, almarhum Ida Pedanda Gunung sempat
mabhisama kepada keluarga. Beliau meminta agar dipalebon secara sederhana jika
lebar. Lokasi palebon harus dilakukan di jaba Griya Gede Purnawati Kemenuh,
Desa Blahbatuh. Sedangkan sarana palebon diminta tidak usah memakai Bade dan
Lembu Putih, sebagaimana palebon sulinggih umumnya, namun cukup dengan kotak
jenazah beratap ornamen ukiran Bali.
Sedangkan
Bade diganti Panyuhunan atau dijunjung di kepala. Almarhum juga sempat berpesan
khususnya kepada kerabat untuk terus berjuang mengabdikan diri bagi umat
sedharma dan melanjutkan ajarana suci Dhanghyang Dwijendra.
Palebon
beliau dilaksanakan dengan sederhana pada Kamis Pahing Kulantir, 21 Juli 2016. (TB)