Ilustrasi: desasangeh.badungkab.go.id Muda-mudi Bali belakangan begitu antusias menyambut hari raya Siwaratri yang dirayakan pada purwa...
Ilustrasi: desasangeh.badungkab.go.id |
Muda-mudi
Bali belakangan begitu antusias menyambut hari raya Siwaratri yang dirayakan
pada purwanining atau sehari sebelum Tilem Kapitu. Mereka ramai-ramai datang ke
pura untuk melakukan persembahyangan, juga ada yang melakukan pakemitan dan
melakukan jagra atau tidak tidur seharian.
Saat
malam Siwaratri ini dipercaya sebagai malam yang paling gelap dan merupakan
payogan Dewa Siwa. Banyak orang yang mengatakan jika malam ini adalah malam
peleburan dosa. Benarkah? Lalu apa yang mesti umat lakukan untuk merayakannya?
Dalam
kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tan Akung dikisahkan tentang seorang pemburu
yang bernama Lubdaka. Saat berburu di tengah hutan ia tak menyadari jika hari
sudah malam. Saat malam perlahan menyelimuti seisi hutan, Lubdaka mulai ketakutan.
Apalagi
di hutan banyak binatang buas, sehingga ia memutuskan untuk naik ke pohon bila
yang berada di atas sebuah kolam. Takut jika ia ketiduran dan jatuh, dirinya
pun memetik daun bila satu persatu untuk mengusir rasa kantuknya. Daun bila itu
jatuh dan menimpa lingga Dewa Siwa.
Saat
meninggal, karena ia berdosa telah membunuh binatang ketika berburu, atmanya
segera dibawa ke neraka. Namun saat yang sama datanglah Dewa Siwa dan ia dibawa
ke Siwa Loka. Karena itulah, kini banyak yang percaya jika merayakan Siwaratri,
maka segala dosanya akan teruwat.
Menurut
Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika, Siwaratri yang
dilaksanakan pada hakikatnya adalah Namasmaranam pada Nama Siwa, yang
artinya selalu mengingat dan memuja Siwa dalam upaya melenyapkan
segala kegelapan batin. Ia mengatakan, keutamaan Siwaratri ini
diuraikan dalam kitab-kitab Purana yaitu Siwa Purana, Skanda Purana,
Garuda Purana dan Padma Purana.
Menurut
Swastika, ada tiga brata Siwaratri yang hendaknya dilaksanakan umat
berdasarkan purana itu yakni upawasa, mona brata dan jagra. Brata upwasa dan
monabrata ini dilaksanakan selama 24 jam mulai dari pukul 06.00 hingga pukul
06.00 keesokan harinya. Sementara untuk jagra dilaksanakan selama 36 jam yakni
hingga pukul 18.00 keesokan harinya.
Upawasa
yaitu tidak makan maupun minum. Indria dilatih untuk melepaskan kenikmatan
makanan berpantang terhadap makanan, melatih untuk tidak terikat dengan
kelezatan makanan sebagai bentuk melatih pengendalian indria-indria
duniawi.
Selain
upawasa juga melakukan mona brata atau tidak berbicara. Mona brata ini
bertujuan melatih diri dalam hal bicara agar terbiasa bicara dengan penuh
pengendalian sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan.
"Mona adalah melatih pembicaraan pada diri sendiri dengan merenungkan
kesucian. Mona Brata biasa dilaksanakan secara total mulai pagi hari hingga
sore hari," katanya.
Dan
brata ketiga yakni jagra atau sadar, dimana umat selalu menjaga kesadaran
buddhi. Ia mengatakan, menjaga kesadaran yang dimaksudkan yakni agar
selalu mengarah pada Sang Pencipta. "Dalam upaya menjaga kesadaran inilah
mereka yang totalitas melaksanakan Brata Mahasiwaratri biasanya pada malam
harinya melakukan Japa Seribu Nama Siwa atau men-Japa-kan nama-nama Siwa yang
jumlahnya seribu," katanya.
Sementara
itu, dikutip dari babadbali.com saat
Siwaratri umat Hindu melaksanakan kegiatan untuk penyucian diri, pembuatan
pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran
diri yang dilakukan dengan melaksanakan brata berupa upawasa, monabrata
dan jagra. Siwaratri juga disebut hari suci pajagran.
Disebutkan
bahwa brata dari Siwaratri yang utama yakni melaksanakan mona brata, upawasa,
dan jagra. Pada tingkatan madya yakni upawasa dan jagra, sedangkan untuk brata
yang nista yaitu hanya dengan melaksanakan jagra.
Adapun
tata cara pelaksanaan upacara Siwaratri yaitu Sang Sadhaka melaksanakan hal
yang sesuai dengan dharmaning kawikon, sedangkan jika walaka, didahului dengan
melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari. Urutannya yakni dengan
maprayascita, ngaturang banten pajati di Sanggar Surya, sembahyang kehadapan
leluhur, ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa di Sanggar Tutuan
atau Palinggih Padma atau pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah.
Setelah
sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh, dan terakhir masegeh di
bawah di hadapan Sanggar Surya serta ditutup dengan melaksanakan dana punia.
Saat pelaksanaan proses upacara tersebut, umat juga tetap melaksanakan upawasa,
mona brata, maupun jagra.
Siwaratri itu sendiri terdiri dari 2 akar kata, yaitu “Siwa” dan “Ratri”. Setiap kata tersebut, tentu memiliki makna yang mengarah pada tujuan dari perayaan hari raya ini. “Siwa” dalam bahasa sansekerta memiliki makna baik hati, pemberi harapan, murah hati atau suka memaafkan, serta membahagiakan. “Siwa” di sini juga bisa diartikan sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diberi nama atau kehormatan Dewa Siwa. Di mana beliau memiliki tugas sebagai pelebur atau pemelihara yang dimaksudkan untuk mencapai suatu kebahagian dalam kehidupan.
Kemudian untuk kata “Ratri” sendiri memiliki makna malam atau bisa juga diartikan sebagai kegelapan. Sehingga “Siwaratri” dapat didefinisikan sebagai sebuah malam yang suci, yang mana ditunjukkan untuk peleburan atau pemerlina kegelapan agar mencapai tujuan hidup dalam kehidupan yang lebih terang.
Lantas, apakah malam siwaratri itu adalah malam penebusan dosa? Jawabannya
tentu saja tidak. Sejatinya malam siwaratri itu adalah malam suci yang
digunakan oleh umat se-Dharma untuk melakukan perenungan terhadap perbuatannya
yang telah dilakukan. Kemudian dari perenungan ini, umat diharapkan mempunyai
kesadaran terhadap dirinya sendiri.
Sehingga siwaratri itu merupakan sebuah simbolisasi dan juga aktualisasi dalam diri seseorang yang diperuntukkan untuk mencapai penyatuan Siwa. Di mana dalam hal ini terjadi penyatuan antara atma dengan paramaatman.
Oleh karena malam siwaratri adalah malam yang suci dan malam perenungan akan
perbuatan dan dosa yang telah dilakukan, maka pergunakanlah malam tersebut
sebagai waktu untuk merenungkan diri. Melakukan intropeksi terhadap diri
sendiri tentang hal-hal yang telah dilakukan. Kemudian perbuatan yang salah
atau keliru, diperbaiki dan tidak diulang di kemudian hari. Ini juga berfungsi
untuk mencapai sebuah kedamaian dalam hidup nantinya.
Tingkatan pelaksanaan
siwaratri
Ketika
melakukan siwaratri ini, para umat hindu diharapkan melakukannya dengan tulus
ikhlas tanpa ada unsur paksaan. Karena dalam pelaksanaan Siwaratri ini, umat
bisa mengambil beberapa jenjang sesuai dengan kemampuan. Berikut ulasannya:
1. Tingkatan utama
Tingkatan
utama merupakan tingkatan yang paling tinggi. Ketika umat mengambil tingkatan
ini, maka wajib hukumnya untuk melakukan beberapa hal. Diantaranya seperti,
melakukan monobrata, melakukan jagra, dan juga melakukan upawasa
2. Tingkatan madya
Tingkatan madya berada di bawah 1 tingkat dari tingkatan utama. Beberapa hal yang wajib dilakukan adalah, melakukan jagra dan melakukan upawasa.
3. Tingkatan Nista
Tingkatan
yang paling rendah dalam pelaksanaan siwaratri adalah tingkatan nista. Umat
yang mengambil tingkatan ini hanya melakukan jagra saja. Ketika umat telah selesai melakukan seluruh tahapan siwaratri di atas, maka
diakhiri dengan persembahyangan. Dalam persembahyangan ini memiliki tujuan
untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar diberkati keselamatan,
tuntunan, dan jalan yang terang dalam hidup. (TB)