Sumber Foto: www.insightguides.com Sebuah video ngelawang Barong Landung viral di media sosial pada Senin, 6 Desember 2021. Dalam potonga...
Sumber Foto: www.insightguides.com |
Sebuah
video ngelawang Barong Landung viral di media sosial pada Senin, 6 Desember
2021. Dalam potongan video yang berdurasi 50 detik terlihat rombongan ngelawang
Barong Landung, dimana mereka melakukan aksi tak senonoh dengan Barong Landung
tersebut. Pada video mereka memperlakukan Barong Landung tersebut layaknya
sedang berhubungan suami istri. Video tersebut merupakan video tiktok yang
diunggah akun @wahyudi_putra1.
Dari
penelusuran Telusur Bali, diduga ngelawang ini dilakukan di kawasan Singakerta
Ubud, Gianyar, Bali. Banyak pihak yang menyayangkan aksi tersebut, karena
Barong Landung sangat disakralkan di Bali.
Telusur
Bali mencoba mengulas terkait dengan Barong Landung dari beberapa sumber.
Ada
beberapa versi terkait dengan keberadaan Barong Landung ini, salah satunya
berkaitan dengan Raja Bali Kuna yakni Sri Jayapangus. Dilansir dari website
Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, diriwayatkan, Raja Jayapangus yang
bergelar Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkaja Cihna/Lancana adalah
seorang raja penguasa Bali Kuna yang menjadi simbol keharmonisan
etnik dan asimilasi kebudayaan seperti halnya Bali dan Cina.
Diketahui, Sri Jaya Pangus merupakan penguasa di Kerajaan Balingkang. Karena kedamaian dan kemakmurannya, Cina pun memutuskan datang dan menjalin hubungan pertemanan dengan kerajaan ini.
Dalam
perjalanannya Jaya Pangus menemukan sorang wanita Cina yang memikat hatinya dan
bernama Kang Ching Wie. Wanita ini merupakan putri seorang saudagar Cina yang
kaya raya. Raja Balingkang pun akhirnya menjadikan putri Cina itu sebagai
permaisurinya.
Akan
tetapi, setelah bertahun-tahun menjalani bahtera rumah tangga, pasangan ini
belum juga mendapat keturunan. Hal ini pun membuat kesedihan yang amat mendalam
pada pihak kerajaan dan seluruh rakyat Kerajaan Balingkang.
Akhirnya
Raja Sri Jaya Pangus memutuskan pergi meninggalkan Kang Cing We untuk mencari
pencerahan dan akhirnya sang raja sampai di suatu tempat di kaki Gunung Batur.
Jaya Pangus lalu memutuskan untuk bermeditasi.
Kehadiran
sang raja ternyata menarik hati seorang dewi yang bernama Dewi Danu dan
merupakan dewi penunggu Danau Batur. Sang dewi akhirnya menggoda sang raja dan
Raja Kerajaan Balingkang ini pun akhirnya tergoda, dan memutuskan menikahi Dewi
Danu.
Kang
Cing We sedih menunggu suaminya yang tak kunjung pulang. Ia pun memutuskan
untuk menyusul sang suami. Dalam perjalanannya, Kang Cing We bertemu dengan
seorang anak yang tidak lain adalah anak dari perkawinan suaminya yaitu Raja
Sri Jaya Pangus dengan Dewi Danu.
Menjumpai
kenyataan itu, Kang Cing We merasa kecewa dan sakit hati, lalu memutuskan untuk
menyerang Dewi Danu yang merebut suaminya. Serangan dari Kang Cing We mendapat
respon negatif dari Dewi Danu, dan akhinya karena kemarahannya iapun
mengeluarkan pasukannya yang berbentuk raksasa dan memporak porandakan pasukan
Kang Cing We.
Tak
tega melihat keadaan istri pertamanya yaitu Kang Cing We, sang raja akhirnya
memutuskan untuk melindungi Kang Cing We dari serangan Dewi Danu. Raja
menyadari cintanya kepada Kang Cing We tidak akan pernah mati walaupun telah
lama meninggalkan permaisurinya tersebut. Melihat Kang Cing We dan Sri Jaya
Pangus bersatu, membuat Dewi Danu kecewa. Dalam kecewanya, iapun mengutuk kedua
pasangan ini menjadi patung.
Berita
tentang berubahnya Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We menjadi patung, menyebabkan
luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Kesedihan rakyat ini
akhirnya membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan. Ia pun kemudian
datang ke kerajaan tersebut membawa seorang anak yang merupakan anak Sri Jaya
Pangus. Dengan kedatangan Sang Dewi, rakyat Balingkang pun memutuskan
mengangkat anak dari Sri Jaya Pangus menjadi penerus menggantikan raja. Sang
Dewi pun mengingatkan rakyat Balingkang untuk terus menghormati dan mengenang
mendiang raja serta permaisurinya.
Untuk
selalu mengenang jasa-jasa sang raja, rakyat Balingkang akhirnya memutuskan
untuk memanifestasikannya ke dalam sebuah barong. Dari patung itulah rakyat
Balingkang membuat sepasang arca, sehingga arca inilah sebagai Barong Landung. Raja
Jayapangus diwujudkan dalam Barong Landung visualisasi boneka besar hitam
dengan gigi ronggoh, sedangkan Kang Cing Wei berupa boneka cantik tinggi
langsing bermata sipit dan selalu tersenyum berkarakter gadis China.
Sementara
itu, dalam artikel Barong Landung: Akulturasi Budaya Bali dan Tionghoa yang
disusun Ni Made Ayu Erna Tanu Ria Sari dan dimuat pada Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 2 Nopember 2020 ada sedikit kisah berbeda dengan
keberadaan Barong Landung ini. Disebutkan wujud Barong Landung ini umumnya ada
dua yaitu berwujud laki-laki tinggi besar dan berwarna hitam yang disebut Jero
Gede, dan yang perempuan tinggi berkulit putih dan bermata sipit disebut Jero
Luh.
Sejarah
Barong Landung dimulai pada abad VI. Ketika itu Raja Sri Jaya Kesunu memiliki
seorang istri dan anak bernama Mayadenawa. Raja Jaya Kesunu murung dan
akibatnya, kerajaan tidak terurus. Maka Mayadenawa dinobatkan sebagai Raja Bali
menggantikan ayahnya Jaya Kesunu.
Untuk
menghilangkan kesedihan Jaya Kesunu, penasihat kerajaan berinisiatif
menjodohkan dengan salah seorang putri dari saudagar Cina bernama Kang Cing We
sebagai istri kedua dari Jaya Kesunu. Kecantikan Kang Cing We membuat Jaya
Kesunu pun menerima perjodohan itu. Sejak itu Raja Jaya Kesunu pun kembali
terlihat gembira. Tapi sayang, keinginan dari Raja Jaya Kesunu untuk mendapat keturunan
dari Kang Cing We tidak terkabul, karena sang permaisuri mandul.
Meskipun
demikian, cinta Jaya Kesunu dengan Kang Cing We tidak pernah surut. Saking
cintanya pada putri Kang Cing We, Raja Jaya Kesunu hendak memerintahkan Empu
Liem membuat satu tarian yang melambangkan dirinya dengan putri Kang.
Mpu
Lien kemudian membuat dua patung besar menyerupai manusia yang bisa ditarikan.
Patung yang satu berwajah laki-laki dengan karakter wajah lokal berwarna hitam
sebagai lambang Jaya Kesunu. Satu lagi adalah perempuan berwajah putih dengan
muka cemberut tetapi memancarkan sinar keibuan sebagai lambang putri Kang.
Keduanya kemudian disebut Barong Landung.
Ida
Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda sebagaimana dikutip dari Bali Express mengatakan
Barong Landung sesungguhnya berfungsi sebagai penolak bala. Apabila terjadi
wabah penyakit ataupun bencana alam, maka masyarakat akan melaksanakan upacara
permohonan, agar Ratu Gede Macaling bersedia mamargi dan berstana dalam Barong
Landung.
Ida
menambahkan biasanya ketika Ida Bhatara Dalem Sakti bersedia tedun dan
malinggih (berstana) dalam wadah Jero Gede dan Jero Luh, lantas kedua Barong
Landung tersebut akan diarak keliling desa. upacara nunas ( memohon) ini,
biasanya dipimpin langsung oleh Jero Mangku Pura Desa atau Pura Puseh sebagai
pengiring beliau. Dalam upacara Nunas tersebut, biasanya masyarakat akan
diberikan tirta sebagai tamba atau obat. (TB)
Referensi
https://disbud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/sejarah-barong-landung-58
Barong
Landung: Akulturasi Budaya Bali dan Tionghoa yang disusun Ni Made Ayu Erna Tanu
Ria Sari, dimuat pada Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No 2 Nopember
2020