net. Mungkin tak banyak yang tahu jika di bali pernah terjadi kecelakaan pesawat yang dahsyat. Kejadian ini terjadi pada tahun 1974. Adapu...
net. |
Mungkin
tak banyak yang tahu jika di bali pernah terjadi kecelakaan pesawat yang
dahsyat. Kejadian ini terjadi pada tahun 1974. Adapun lokasi kecelakaan pesawat
ini yakni di Buleleng, dimana Pesawat Boeing 707 Pan American World Airways
yang biasa dijuluki Clipper Climax menabrak bukit di Desa Tinga-tinga,
Kecamatan Gerokgak Buleleng, Bali.
Kejadian
ini pun menjadi catatan sejarah kecelakaan pesawat pertama yang terjadi di Bali
dan paling parah. Dalam kecelakaan ini semua penumpang meninggal dunia.
Dilansir
dari situs berita Rmol.id pada 1974 desa ini begitu sunyi dan jauh dari
keramaian. Saat ini lokasi kecelakaan pesawat tersebut dikelilingi pagar
pembatas dari besi dengan nisan yang sudah dikelilingi rerumputan.
Pesawat
Boing 707 Pan American Airways dengan nomor penerbangan 812 ini menewaskan 107
penumpangnya. Jenazah korabn lalu dikubur dalam tiga lubang berukuran 5 x 3 meter.
Bali bukan merupakan tujuan akhir pesawat itu. Bali hanyalah tempat transit untuk penerbangan reguler Hongkon-Sydney, Australia. Pesawat ini berangkat dari Hong Kong pada 22 April 1974, pukul 11.08 UTC (19.08 waktu Hong Kong). Perkiraan waktu terbang ke Bali adalah 4 jam 23 menit.
Masih dilansir dari Rmol.id, Ketika itu tanggal 22 April 1974, sekitar pukul 23.00 Wita, cuaca Bali sangat bersahabat. Malam cerah tanpa hujan atau angin kencang. Semua nampak normal. Petugas dinas malam menara kontrol lapangan udara internasional Ngurah Rai, I Wayan Nuastha, menerima permintaan mendarat dari pesawat 707 Pan Am dengan call sign Clipper 812.
Kapten Pilot Zinke melakukan kontak pertamanya yang diterima Nuastha pada jam 22.05 Wita. Saat itu ketinggian Pan Am berada di 28 ribu kaki. Dikutip dari laporan Tempo, Nuastha yang menerima laporan itu meminta Clipper menghubungi Pusat Pengawas Wilayah yang berfrekwensi 128,3, sebab tanggung jawab menara hanya terbatas pada ketinggian 1.000 kaki.
Zinke menyetujuinya dan berhasil melakukan kontak dengan Mulyadi, petugas yang berdinas. Kepastian jam mendarat dari Zinke disebutkan pukul 22.27 Wita, Zinke diizinkan menurunkan pesawat hingga ketinggian 10 ribu kaki dan meminta landasan di Ngurah Rai disiapkan.
Percakapan itu tetap didengar Nuastha yang menyiapkan landasan dengan
menyalakan semua lampu di sekitarnya. Sebagian lampu isyarat ternyata tidak
menyala karena rusak.
Saat ketinggian pesawat berada pada 12.000 kaki, Nuastha mendapat kabar
bahwa Zinke ingin mendaratkan pesawatnya dari ujung 09 runway. Dia akan
meluncur ke arah landasan dari titik 11.000 kaki. Maka Nuastha terus
membimbingnya hingga ketinggian 2.500 kaki dalam keadaan cuaca cerah. Tak
berapa lama Zinke pun menjawab sudah berada di ketinggian tersebut. Namun,
sesaat setelah itu, Nuastha kehilangan kontak. Dia tidak berhasil menghubungi
Zinke.
Pada pagi hari, 24 April 1974, pesawat Cessna Angkatan Udara Republik Indonesia melaporkan melihat asap mengepul di tengah hutan belantara, yang ternyata berasal dari puing pesawat yang naas itu. Lewat penyelidikan, disebutkan bahwa Boeing 707-321B yang merupakan pesawat dengan teknologi radar tercanggih di masanya itu, tidak jatuh di ujung landasan 09 Ngurah Rai. Pesawat itu menabrak bukit 78,7 kilometer barat laut Ngurah Rai.
Laporan tertanggal 20 Maret 1975 yang dirilis oleh Kementrian Transportasi Komunikasi Dan Pariwisata, disebutkan di sekitar lokasi kejadia, banyak pohon yang tumbang, menunjukkan arah pesawat sebelum peristiwa yang diperkirakan berada pada posisi antara 155 dan 166 derajat. Dari jejak yang ada, diperkirakan pesawat menabrak bukit dalam posisi membelok. Pesawat pun jatuh dan hancur dengan puing-puing tersebar dalam radius 50 M dari titik benturan.
Rilis oleh Kementrian Transportasi Komunikasi Dan Pariwisata Indonesia juga menyebutkan hasil investigasi menyeluruh di lokasi kecelakaan mengungkapkan tidak ada kebakaran yang terjadi sebelum pesawat jatuh. Dari posisi tumpukan pesawat menunjukkan tanda-tanda kebakaran dari bawah ke arah puncak pohon menyebabkan keyakinan bahwa kebakaran hanya terjadi setelah pesawat menabrak tanah dan meledak.
Sementara
itu, dilansir dari Suarabali.id, pasukan terjun payung Indonesia dan pihak
berwenang segera dikerahkan ke daerah di mana kontak terakhir telah dilakukan
Flight 812. Kontak terakhir dilakukan oleh Pan Am Flight 812 di sekitar
Gunung Mesehe, Kabupaten Jembrana Bali. Pesawat ditemukan menabrak gunung
sekitar 37 mil barat laut dari bandara Bali.
Puing-puing
ditemukan sehari kemudian oleh dua warga desa setempat. Mereka melaporkan bahwa
tidak ada yang selamat. Evakuasi jenazah terhambat akibat medan lokasi jatuhnya
pesawat yang berada di kawasan pegunungan. Karena lokasi yang sulit, penyelamat
terpaksa membatalkan proses evakuasi lewat udara.
Perwira TNI menyatakan bahwa operasi penyelamatan perlu empat atau lima hari. Pada 25 April, sekitar 300 penyelamat dikerahkan ke lokasi kecelakaan. Tentara Indonesia menyatakan bahwa proses evakuasi akan dimulai pada 26 April. Mereka kemudian menambahkan bahwa mereka telah menemukan sekitar 43 jenazah. Ada 96 penumpang dari sembilan negara, 70 penumpang menuju Bali, 24 orang menuju Sydney, dan dua penumpang menuju Nadi.
Pan
Am melaporkan, sekitar tujuh puluh penumpang adalah wisatawan yang hendak
berlibur di Bali. Pilot yang memimpin penerbangan ini Kapten Donald Zinke yang
berusia 52 tahun. Mengantongi jam terbang total 18.247 jam termasuk 7.192 jam
di pesawat Boeing 707/720. Dia memegang rating pesawat DC-4 dan rating pesawat
Boeing 707.
Co-pilotnya
adalah Perwira Pertama John Schroeder. Dia memegang peringkat Boeing 707 yang
valid dan memiliki total jam terbang 6.312 jam termasuk 4.776 jam di pesawat
Boeing 707/720. Pilot lainnya adalah Perwira Ketiga Melvin Pratt, memegang
lisensi pilot komersial yang valid dan peringkat instrumen saat itu. Pada saat
kecelakaan itu dia telah terbang total 4.255 jam termasuk 3.964 jam di pesawat
Boeing 707/720. Anggota kru kokpit lainnya adalah Insinyur Penerbangan Timothy
Crowley dan Insinyur Penerbangan Edward Keating.
Beberapa
saksi mata menyatakan bahwa pesawat itu terbakar sebelum menghantam Gunung
Mesehe. Yang lain menyatakan bahwa Kapten Zinke mencoba mendarat dari barat
laut, di mana pegunungan itu berada, bukan melalui rute yang biasa (dari
timur). Sisi timur tidak memiliki medan yang curam. Mereka juga menyatakan
bahwa pesawat itu meledak tak lama setelah menghantam gunung.
Ada
juga laporan bahwa pesawat berputar-putar selama kecelakaan itu. Pan American
Airways kemudian menyatakan bahwa mereka menolak berkomentar tentang penyebab
kecelakaan itu. Mereka menyatakan akan menunggu hasil penyelidikan.
Karena
pesawat itu terdaftar di Amerika Serikat, NTSB dipanggil untuk menyelidiki
kecelakaan itu. Perwakilan korban dari negara asalnya juga dipanggil oleh
Pemerintah Indonesia. FBI juga diminta untuk mengidentifikasi para korban. FBI
mendirikan crisis centre di sebuah hanggar di Denpasar. Identifikasi terhambat
oleh keputusan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan identifikasi para korban
dan penyelidikan kecelakaan ini.
Black box penerbangan ditemukan pada 16 Juli dan perekam suara kokpit ditemukan pada 18 Juli 1974. CVR ditemukan dalam kondisi baik, sedangkan FDR mengalami beberapa kerusakan pada bagian luarnya karena kecelakaan itu. Pemeriksaan rongsokan Flight 812 menyimpulkan bahwa pesawat tidak pecah dalam penerbangan, karena puing-puing pesawat terkonsentrasi di area tertentu, bukan tersebar. NTSB tidak menemukan kerusakan mesin, dan menambahkan bahwa mereka tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa pesawat itu tidak layak terbang. Setelah kecelakaan tersebut, Pan Am American langsung menghentikan jalur penerbangan Hong Kong-Sidney dengan transit di Bali.
Selain
pemakaman di Desa Tinga-tinga, pemerintah daerah juga membuatkan Monumen
Peringatan Tragedi Pan Am American Airways di Padang Galak, Sanur. Sebagian
besar jenazah yang sudah dimakamkan di Tinga-tinga dipindahkan ke Padang Galak
untuk memudahkan keluarga korban yang berasal dari berbagai negara untuk
berkunjung. Di batu monumen, berisi nama 107 orang korban. Monumen tersebut
didirikan oleh Bupati Badung Wayan Dana dan Gubernur Bali Soekarmen.
Dilansir dari Tribunnews.com untuk mengingatkan sejarah sekaligus menyucikan arwah dari 107 korban tragedi pada 22 April 1974 itu, Sabtu 23 Mei 2015 digelar acara Atma Wedana di Padang Galak.
Sejumlah pinandita dan perwakilan konjen dari 11 negara yang warganya menjadi
korban menghadiri upacara peringatan yang baru kali pertama digelar tersebut. Selain
korbannya dua warga Bali, korban tragedi Pan Am American berasal dari Australia,
Perancis, Kananda, Jerman, China, India, Jepang, Filipina, Swedia, dan Amerika
Serikat. (TB)