net Gunung Agung Bali, atau yang biasa disebut Giri Tohlangkir merupakan gunung yang tertinggi di Bali. Gunung ini memiliki ketinggian 3.1...
net |
Gunung
Agung Bali, atau yang biasa disebut Giri Tohlangkir merupakan gunung yang
tertinggi di Bali. Gunung ini memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan
laut. Lokasinya berada di Kecamatan Rendang, Kabupaten
Karangasem, Bali. Ada kisah menarik tentang terciptanya Gunung Agung ini.
Konon gunung ini merupakan potongan dari Gunung Semeru di Jawa yang dikirim ke
Bali.
Sementara
itu, dari catatan sejarah, Gunung Agung telah mengalami erupsi beberapakali.
Teks kuna mencatat, gunung ini mengalami erupsi pada tahun 1711 Masehi.
Meskipun
demikian, dilansir dari beberapa sumber yakni kompas.com, tribunnews.com,
merdeka.com, viva.co.id, hingga tempo.co, disebutkan Gunung Agung pertama kali
mengalami erupsi tahun 1808. Hal tersebut berdasarkan catatan dari PVMBG (Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) letusan Gunung Agung dimulai sejak
1800. Track Records letusan Gunung Agung dimulai dari 1802, 1821,
1843, dan 1963.
Berikut
ini tahun terjadinya erupsi Gunung Agung di Bali.
1. Tahun 1711
Pendiri
Hanacaraka Society, Sugi Lanus yang dilansir dari NusaBali menuturkan pada
tahun 1711, gunung agung diperkirakan meletus. Letusan ini tercatat dalam lontar Babad
Gumi, Babad Tusan, dan Tattwa Batur Kalawasan. Ditambah lagi dengan
rujukan dari beberapa temuan oleh dua peneliti, Helen Creese dan Han Hagerdal
adalah dua peneliti yang sempat berpolemik tentang tahun-tahun ‘candrasangkala’
di Bali.
Dalam
lontar tercatat, ada peristiwa baru meletus berupa air panas di Tohlangkir, dan
menewaskan orang-orang sedesa di Tohlangkir.
Pada
tahun itu, air panas sampai merusak desa-desa seperti Desa Bukit, Caukcuk,
Bantas, Kayuaya, Kayupetak, Tanjung, Rijasa, Mandala, Pagametan (Gerogak,
Buleleng), serta wilayah lainnya seperti Tamblingan.
Selain
itu, dijelaskan juga ada gelombang pengungsian hebat pada saat itu. Akibat
letusan pada tahun 1711, peradaban masyarakat Bali yang saat itu merupakan
zaman Singosari harus terhenti.
2. Tahun 1808
Tak
banyak catatan tentang erupsi yang terjadi pada tahun 1808. Namun dari catatan
PVMBG, letusan pada tahun ini merupakan letusan Gunung Agung yang pertama. Pada
tahun itu, dilansir dari tempo.co, Gunung Agung melontarkan abu dan batu apung
dengan jumlah besar.
3. Tahun 1821
13
tahun setelah letusan tahun 1808, Gunung Agung kembali meletus. Letusannya
disebut normal, tetapi tak ada keterangan terperinci. Letusannya juga dinilai
tak sedahsyat letusan pada tahun 1808. Setelah letusan tersebut, Gunung Agung
kembali normal.
4. Tahun 1843
Setelah
lama dalam kondisi tenang, Gunung Agung meletus lagi pada tahun 1843. Letusan
ini didahului oleh sejumlah gempa bumi, kemudian memuntahkan abu vulkanik,
pasir, dan batu apung.
Dalam
catatan Heinrich Zollinger dituliskan, setelah lama tidak aktif, tahun ini
gunung itu mulai hidup kembali. Pada hari-hari pertama kegiatan, guncangan
gempa terasa setelah itu diikuti dengan keluarnya abu, pasir dan batu.
5. Tahun 1963
Gunung
Agung meletus kembali pada tahun 1963 hingga Januari 1964. Dilansir dari
Liputan6.com, Minggu 17 Maret 1963, Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali,
meletus mencapai puncaknya. Dahsyatnya letusan Gunung Agung ini tak hanya
menjadi bencana terbesar yang pernah dirasakan warga Bali, melainkan
juga menjadi sejarah dunia.
Letusan
itu disertai abu vulkanik yang menyembur vertikal dari kawah Gunung Agung
setinggi 20 kilometer. Setelah terjadinya letusan tersebut, suhu bumi turun 0,4
derajat Celcius. Hal itu terjadi karena material vulkanik berupa aerosol sulfat
dari gunung itu terbang hingga 14.400 kilometer dan melapisi atmosfer Bumi. Abu belerang dari
erupsi gunung ini beterbangan keseluruh dunia dan jejaknya sampai terlihat
sebagai sulfur acid di dalam lapisan es di Greenland.
Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, letusan Gunung
Agung saat itu berlangsung dari 2 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Merujuk
data yang dihimpun dari catatan Badan Geologi, UNESCO (1964), Jurnal Science
(1978), dan Bulletin Vulcanology (2012), letusan itu menewaskan 1.549 orang.
Sebanyak
1.700 rumah hancur. Sekitar 225.000 orang kehilangan mata pencaharian dan
100.000 orang mengungsi. Bukan hanya saat letusan, korban jiwa ketika itu juga
muncul pascaletusan, dengan sekitar 200 orang tewas akibat hujan yang membuat
lahar meluncur ke sisi selatan Gunung Agung. Lahar itu juga menyebabkan 316.518
ton produksi pangan di sepanjang aliran lahar Gunung Agung rusak. Erupsi tahun
1963 ini merupakan letusan yang terbesar sejak tahun 1808.
Diketahui,
dentuman keras terjadi pada tanggal 18 Februari 1963 dan penduduk setempat melihat
asap tebal keluar secara vertikal dari puncak Gunung Agung.
Pada
24 Februari 1963, lava mulai mengalir turun dari bagian utara gunung. Lava terus
mengalir selama 20 hari dan mencapai kejauhan hingga 7 km. Pada 17 Maret 1963,
Gunung Agung meletus dengan Indeks Letusan sebesar VEI 5 (setara letusan Gunung
Vesuvius) dan kembali meletus pada tanggal 17 Mei 1963.
Letusan
ini juga dicatat oleh Ida Pedanda Made Sidemen dalam lontar ‘Pūjā
Pañambutan’ yang disalinnya dengan pangéling-éling (pesan
pengingat) tentang letusan Gunung Agung tahun 1963, yang diikuti kekacauan
politik tahun 1965.
6. Tahun 2017
Pada
bulan September 2017, peningkatan aktivitas gemuruh dan seismik di sekitar
gunung berapi menaikkan status normal menjadi waspada dan sekitar 122.500 orang
dievakuasi dari rumah mereka di sekitar Gunung Agung. Pada tanggal 22 September
2017, status Gunung Agung dinaikkan dari Siaga menjadi Awas. Daerah tersebut
mengalami 844 gempa vulkanik pada tanggal 25 September, dan 300 sampai 400
gempa bumi pada tengah hari pada tanggal 26 September. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana juga mendeklarasikan zona eksklusi sepanjang 12
kilometer di sekitar gunung berapi tersebut pada tanggal 24 September.
Pada
tanggal 18 September 2017, status Gunung Agung dinaikkan dari Waspada menjadi
Siaga. Evakuasi berkumpul di balai olahraga dan bangunan masyarakat lainnya di
sekitar Klungkung, Karangasem, Buleleng dan daerah lainnya.
Ada letusan freatik kecil yang dilaporkan pada tanggal 21 November 2017, pukul
17.05 WITA dengan kolom abu vulkanik mencapai 3842 meter di atas
permukaan laut. Sebuah erupsi magmatik dimulai pada hari Sabtu, 25
November 2017. Pada tanggal 26 November 2017, pukul 23:37 WITA, sebuah letusan
kedua terjadi. Ini adalah letusan kedua yang meletus dalam waktu kurang dari
seminggu.
Tanggal
10 Maret 2018, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (
PVMBG) menurunkan status Gunung Agung, Karangasem, dari level IV (Awas) menjadi
level III (Siaga). Tanggal 11 April 2018 pukul 09.04 WITA, Gunung Agung kembali
menyemburkan abu vulkanik setinggi 500 meter. Kolom asap dan abu berwarna
kelabu terlihat condong ke arah barat daya. Tanggal 28 Juni 2018 pukul 10.30
WITA, Gunung Agung mengeluarkan asap hingga Jumat dini hari yang menyebabkan
hujan abu di bagian barat hingga barat daya dan menyebabkan Bandar Udara
Internasional Ngurah Rai, Bandar Udara Banyuwangi dan Bandar Udara Jember resmi
ditutup sejak Jumat pukul 03.00 WITA hingga 19.00 WITA menyusul hembusan Gunung
Agung yang terus menerus mengeluarkan asap dan abu vulkanik.
Tanggal
2 Juli 2018 pukul 21.04 WITA, Gunung Agung kembali meletus. Kali ini dengan
melontarkan lahar dengan radius 2 km. Erupsi terjadi secara strombolian dengan
suara dentuman. Dalam laporan PVMBG Kementerian ESDM, erupsi Gunung Agung
terjadi pada hari Senin 2 Juli 2018 dan Selasa 3 Juli 2018 pukul 04.13 Wita.
Tinggi kolom abu pada letusan malam itu teramati ±2.000 m di atas puncak
(±5.142 m di atas permukaan laut). (TB)