Ist Tradisi Bali memang sangat unik dan harus dilestarikan. Bali memiliki begitu banyak tradisi yang masih bertahan hingga kini. Salah sat...
![]() |
Ist |
Tradisi
Bali memang sangat unik dan harus dilestarikan. Bali memiliki begitu banyak
tradisi yang masih bertahan hingga kini. Salah satunya adalah pajegan. Pajegan
ini merupakan sarana upacara yang menggunakan alas dulang dan di atas dulang
diisi aneka jajanan dan buah dan berbentuk menjualang ke atas, dimana semakin
ke atas semakin lancip.
Di
Gianyar, ada tradisi pajegan setinggi 2,5 meter. Dimana, banten pajegan ini
digunakan saat di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga, Desa Pakraman Bedulu,
Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali. Banten pajegan ini selalu dipersembahkan
oleh sejumlah krama pengempon Pura Samuan Tiga setiap piodalan dan menjadi
sebuah tradisi turun-temurun.
Banten
pajegan merupakan bentuk persembahan umat Hindu, dalam hal ini krama pengempon
Pura Samuan Tiga, sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Makna atau filosofi banten pajegan ini terlihat dari bentuknya
yang menjulang seperti gunung.
Makin
ke atas makin mengerucut (lancip), dan di atasnya juga diletakkan canang dan
sampiyan sebagai wujud persembahan dan bhakti ke hadapan Tuhan sang pencipta
alam semesta. Tinggi rendahnya pajegan tergantung dari keiklasan dan kemampuan
dari masing-masing individu.
Karena
nilainya tidak diukur dari tinggi atau rendahnya, tapi dari keiklasan hati
dalam menunjukkan rasa syukur. Namun rata-rata pajegan memiliki tinggi 2 meter.
Sejak jaman dahulu, menghaturkan banten pajegan ini menjadi tradisi krama
pengempon Pura Samuan Tiga.
Paling
tidak, 40 pajegan berdiri megah di pelataran pura yang terletak di Desa Bedulu,
Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali ini. Untuk diketahui,
Pura Samuan Tiga dalam sejarah Bali tercatat sebagai pura tempat
pertemuan berbagai sekte untuk menyatukan persepsi soal tri kahyangan, lahirnya
konsep desa pakraman, dan sistem pengairan tradisional bernama subak.
Namun
seiring waktu berjalan, kini tidak semua krama pengempon Pura Samuan Tiga
menghaturkan pajegan. Saat ini yang tersisa hanya empat keluarga yang masih
setia menjalankan tradisi warisan leluhur tersebut.
Dilansir
dari Tribun Bali, Jero Bendesa Desa Pakraman Bedulu, Gusti Ngurah Made Serana, yang
diwawancarai tahun 2015 lalu mengatakan leluhurnya jaman dahulu sudah membuat
pajegan setiap piodalan. Pihaknya pun tidak tahu sudah berlangsung sejak kapan.
Namun hal ini sudah berlangsung secara turun temurun dari leluhurnya.
Ada
nilai spiritualitas tinggi dan manfaat niskala yang ia rasakan setiap kali
menjelang piodalan. Kesehatan dan rezeki, dua kata itu menjadi kunci komitmen
Jero Bendesa bertahan hingga kini kendati krama yang menghaturkan pajegan kian
menyusut jumlahnya. “Setiap menjelang piodalan keluarga saya sehat semua.
Rezeki pun ada. Sugestinya sangat besar sekali, kalau untuk kebaikan kenapa
saya tidak pertahankan saja," tuturnya.
Ada
juga nilai spiritualitas lainnya yang dirasakan. Banten pajegan tidak bisa
di-suun oleh sembarang orang. Seperti kehendak Tuhan, siapa yang membuat hanya
dia yang bisa membawanya ke pura. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya nyuun
banten setinggi 2,5 meter yang dibawa dari rumah dengan jarak hampir satu kilo.
Selain
tinggi, banten pajegan juga memiliki bobot yang cukup berat. Banten ini
berisikan 9 ayam panggang, buah-buahan, dan berbagai jenis jajan.
“Tidak
sembarang orang bisa membawa banten pajegan ini. Seperti Tuhan memberikan
energi walau yang bersangkutan tidak pernah atau tidak bisa mesuwunan
sebelumnya. Ipar saya yang tinggal di Malaysia pernah membuktikannya,"
kisahnya.
Jero
Bendesa mengisahkan banten pajegan selain sebagai wujud terimakasih kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, juga merupakan bentuk tantangan dari leluhur.
Dilansir
dari Nusa Bali, salah seorang perempuan yang nyuwun atau menjunjung banten ini
adalah Gusti Ayu Nyoman Mudiani. Ia membawa banten seberat 50 kilogram tersebut
sejauh hampir 1 kilometer tanpa lepas tangan. Berangkat dari rumahnya di Banjar
Batulumbang menuju Pura Samuantiga, dengan waktu tempuh kira-kira 30 menit. Istri Bendesa Adat Bedulu Gusti Ngurah Serana ini mengatakan sudah 26 kali
nyuwun Banten Pajegan dengan ciri khas berisi susunan 9 ayam panggang.
Adapun
proses pembuatan Banten Pajegan ini sudah mulai dikerjakan H-3 sebelum
pujawali. Namun, persiapan bahan-bahan upakaranya sudah mulai dilakukan selama
seminggu terakhir. Sebab jajan yang dipakai banten harus dibuat secara
tradisional di rumahnya. Terutama untuk jajan yang dinamakan Catut dan jajan
Taluh Kakul. Selebihnya, bisa dibeli di pasaran seperti Iwel dan Satuh.
Begitupula dengan aneka buah-buahan yang dipasang. Sedangkan untuk pisangnya,
khusus dipakai pisang Gancan yang dipetiknya dari kebun.
Setelah
jadi, Banten terlebih dahulu diangkat oleh beberapa orang kemudian diletakkan
di atas kepalanya. Gusti Nyoman Mudiani mengatakan ada teknik khusus untuk
nyuwun Banten Pajegan ini, yakni harus mengetahui arah angin agar Banten tetap
seimbang. Selain itu, kedua tangan harus kuat memegang wanci selama perjalanan.
"Paling penting berdoa," ungkapnya. Astungkara, setiap kali nyuwun,
Banten Pajegan tinggi ini tidak pernah sampai jatuh. Sesuai kepercayaan juga,
saat nyandang banten ini dipercaya ada kekuatan ekstra yang dirasakan.
Untuk
antisipasi, selama perjalanan menuju pura, Gusti Nyoman Mudiani didampingi oleh
anak-anaknya. Pujawali di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga, Desa Pakraman
Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar sendiri digelar setahun sekali setiap
Purnama Jiyesta. Tahun 2022 ini puncak Pujawali jatuh pada Saniscara Paing Ukir
bertepatan dengan Purnama Jiyesta, Sabtu 16 April 2022 dan nyejer selama 11
hari. (TB)