Ist Perjuangan dadong atau nenek di Karangasem Bali ini sangat luar biasa. Untuk bisa menyambung hidup ia rela jualan dengan berjalan kaki...
Ist |
Perjuangan
dadong atau nenek di Karangasem Bali ini sangat luar biasa. Untuk bisa
menyambung hidup ia rela jualan dengan berjalan kaki di bawah terik matahari.
Padahal kini umurnya sudah 70 tahun. Nenek ini bernama Ni Ketut Berata.
Dilansir
dari Beritabali.com dan Balipuspanews.com, diketahui nenek ini berasal dari
Gelumpang Karangasem Bali. Dadong Berata ini menjajakan ceper atau cemper yang
merupakan perlengkapan upakara berbentuk persegi yang terbuat dari daun kelapa
hijau atau slepan.
Ia
berjalan kaki menyusuri jalanan dari rumahnya menuju ke sekitaran Kota Amlapura
untuk menjajakan ceper miliknya. Dari rumah ke rumah ia jajakan cepernya ini
dan berharap ada yang membelinya.
Hingga
kini, menurut pengakuannya, dirinya sudah berjualan ceper keliling sejak 25
tahun lalu. Hampir setiap hari ia berjualan ceper mulai pukul 10.00 Wita.
Dirinya berangkat dari rumahnya dengan berjalan kaki keliling memasuki rumah-rumah
warga untuk menjajakan cemper yang ia jual tersebut.
Dari
pukul 10.00 tersebut, ia akan pulang saat cepernya habis bahkan bisa sampai
pukul 15.00 Wita atau pukul 3 sore. Jika cepernya laku cepat, ia bisa pulang
lebih awal. Namun jika sedikit pembeli yang ia temui, maka akan semakin lama ia
berkeliling.
Dirinya
pun menjual satu paket ceper berisi 50 biji dengan harga Rp 8 ribu. Dari
penjualan ceper tersebut, satu paket biasanya ia hanya memperoleh untung Rp
1.000 hingga Rp 2.000. Dadong Berata mengaku membeli ceper tersebut kepada
seorang pembuat ceper untuk dijualnya kembali dengan cara berjalan kaki. Selain
ceper, kadang dirinya juga sambil menjual janur dan pisang.
Untuk
diketahui, ceper ini merupakan salah satu penyusun dari canang sari. Ceper ini
digunakan sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat.
Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper
sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca
Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya
Angga-sarira (badan wadag) ini.
Sementara
itu, canang sari amerupakan suatu banten atau sarana upakara yang digunakan
oleh masyarakat Bali saat sembahyang. Frasa canang sari diperoleh dari
kata sari atau nti, esensi, serta canang artinya wadah
anyaman daun kelapa.
Menurut
kamus bahasa Bali, canang merupakan sebuah kata benda dengan
tingkatan bahasa halus yang memiliki arti sirih. Buku Sembahyang menurut Hindu
menyebutkan bahwa pada zaman dulu sirih bernilai sangat bernilai tinggi dan
menjadi lambang penghormatan. Sirih disuguhkan kepada tamu yang sangat
dihormati.
Menurut
Ida Pedanda Gede Made Gunung, kata canang"terdiri atas dua suku kata bahasa
Kawi, "ca" ("indah") dan "nang"
("tujuan"). Dengan demikian, pengertian canang dapat djabarkan
menjadi sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke
hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Selain
ceper, penyusun canang yakni beras. Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang
Hyang Ātma, yang menjadikan badan ini bisa hidup, beras/wija sebagai lambang
benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida
Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang/nyasa
angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak
ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari
itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang
Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma
menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya
klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan
kekurangannya.
Juga
berisi porosan yang terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir
sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan,
dan perbuatan). Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara
Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan),
Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai
lambang/nyasa Bayu (perbuatan), Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara
Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). Suatu
kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan
tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri
Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu
aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan
terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.
Juga
berisi tebu dan pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa
amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan
tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu
aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini.
Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh
kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
Ada
juga sampian uras yang dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar
yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda
kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap
kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan
kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama Kesenangan), Eswarya
(kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala
( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat
manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda
kehidupannya.
Selanjutnya
ada bunga sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang
bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam
kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan
hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Juga
Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang,
kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata
kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai
berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh
di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam
bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga
bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini,
tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan
tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua
dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya
kita memiliki kebijaksanaan.
Sleanjutnya
diisi lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan
prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur,
pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat
disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang
lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik
ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik,
begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat
hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
Terakhir
adalah minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau
pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai
lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat
dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya
umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat
jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita
dapat melihatnya. (TB)