Ist Umat Hindu di Bali memiliki banyak perayaan baik yang dirayakan berdasarkan sasih atau bulan ataupun berdasarkan pawukon yang dirayaka...
![]() |
Ist |
Umat
Hindu di Bali memiliki banyak perayaan baik yang dirayakan berdasarkan sasih
atau bulan ataupun berdasarkan pawukon yang dirayakan setiap enam bulan sekali.
Salah satu hari raya yang dirayakan berdasarkan wuku yakni Tumpek Landep.
Tumpek landep dirayakan setiap enam bulan sekali tepatnya pada Sabtu Kliwon
wuku Landep.
Ketika
Tumpek Landep ini biasanya pemilik kendaraan baik sepeda motor atau mobil akan
mencuci kendaraan mereka. Hal ini juga membuat tukang cuci kendaraan akan
semakin ramai. Setelah dicuci bersih, biasanya kendaraan tersebut akan
diupacarai dengan banten.
Lalu
apakah Tumpek Landep ini merupakan otonan sepeda motor atau mobil?
Wakil
Ketua PHDI Bali, Pinandita I Ketut Swastika mengatakan Tumpek Landep merupakan otonan
atau upacara untuk sarwa (benda) lancip seperti keris, tombak, dan juga
peralatan perang lainnya. Selain itu, Tumpek Landep juga
memiliki makna ngelandepang idep atau menajamkan pikiran.
Menurutnya, pada saat ini mestinya umat Hindu Bali membersihkan diri terkait dengan peralatan yang lancip tersebut. Lancip itu juga termasuk pikiran.
Sehingga Tumpek Landep ini
bukan hanya ngotonin sarwa lancip, tapi juga pikiran yang utama karena pikiran
adalah awal dari semua. Karena dari pikiran ada perkataan, karena perkataan ada
perbuatan, dan perbuatan itulah yang menunjukkan jati diri seseorang.
Sementara
itu, Dosen Bahasa Bali Unud, Putu Eka Guna Yasa, mengatakan dalam Lontar
Sundarigama termuat bahwa saat Tumpek Landep ini umat Hindu
memuja Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati untuk meminta kasidian atau
kekuatan atas senjata-senjata perang.
Karena
saat jaman kerajaan, senjata menjadi sangat penting bagi suatu kerajaan untuk
mempertahankan dirinya dari serangan musuh. Sehingga patutlah Tumpek Landep ini
digunakan sebagai momentum untuk recharging yaitu dengan upacara selain diasah.
Akan
tetapi dewasa ini, berperang tidak lagi menggunakan senjata akan tetapi
berperang dengan jnana dan idep. Kita berperang dengan nalar dan pikiran,
maka pikiran harus direcharging atau dipertajam baik secara pengetahuan maupun
rohaniah. Itulah sebabnya mantra yang dibaca saat Tumpek Landep adalah
mantra danurdhara.
Danurdhara sendiri merupakan pasukan pemanah. Dalam Kakawin Ramayana disebutkan 'ikanang danurdhara kabeh' atau pasukan khusus yang menguasai senjata panah. Dan tradisi kita menganggap panah sebagai simbol ketajaman konsentrasi pikiran. Secara fisik, memang disimbolkan dengan panah, padahal yang dimaksudkan juga manah atau konsentrasi pikiran. Oleh karena itu dalam momen Tumpek Landep kita juga harus ngelandepang idep atau mempertajam pikiran.
Berbicara
mengenai penajaman pikiran ini, menurut Guna tak ada salahnya belajar pada
sosok Arjuna anak ketiga dari pasangan Pandu dengan Dewi Kunti dalam epos
Mahabharata. Disebutkan dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa,
Arjuna merupakan salah satu sosok yang paling pandai dalam hal menggunakan
senjata panah.
Hal
ini dimulai ketika Bhagawan Drona mengajak Panca Pandawa dan Kurawa latihan
memanah. Di sebuah pohon bertenggerlah seekor burung lalu mereka diminta
untuk memanah burung tersebut oleh Drona.
Giliran
pertama adalah Bima. Sebelum memanah Drona bertanya kepada Bima: apa yang
ananda lihat Bima mengatakan bahwa dirinya melihat langit, pohon, dan
burung. “Jangan memanah taruh panahnya,” kata Drona kepada Bima.
Termasuk
Satus Korawa juga tidak diberikan memanah. Bahkan Drona tidak
mengijinkannya untuk melepaskan anak panah. Yudistira sekalipun ketika
ditanya apa yang dilihat, ia menjawab uang dilihat adalah Guru Drona dan sudah
pasti tidak diijinkan melepaskan anak panahnya.
Hingga
tiba pada gilirannya Arjuna ditanya apa yang dilihat, dan ia bilang biji mata
burung. Maka diijinkanlah Arjuna untuk melepas anak panah dan kenalah
burung itu. Dari uraian tersebut, menurut Guna pentinglah mengasah ketajaman
intelektual yang bersumber dari pikiran agar perhitungan tepat.
Andaikan
saja Arjuna tidak memiliki perhitungan tajam dan tepat, pasti ia tidak akan
bisa menembak burung tersebut dengan anak panahnya. Karena hal itulah, Arjuna
sering digunakan sebagai figur landeping idep atau pikirannya yang tajam.
Lalu,
bagaimana cara mempertajam pikiran?
Guna
menambahkan, belajar pada Arjuna saat bertapa di Gunung Indrakila untuk
mendapatkan anugerah panah pasupati sastra. Karena dari keteguhan tapanya
Arjuna juga disebut sebagai 'wiku wita raga' oleh Dewi Supraba. Ketika Arjuna
bertapa di Gunung Indrakila, Bhatara Indara mengutus tujuh bidadari untuk
menggoda tapanya.
Bidadari
tersebut dipimpin oleh Dewi Tila Utama dan Dewi Supraba. Tilotama dan
Supraba ini bukan bidadari biasa. Diciptakan dari manik-manik terbaik
surga oleh Bhatara Brahma, dan bahkan yang menciptakannya pun tergoda oleh
kecantikannya. Digoda selama tiga hari tiga malam, Arjuna tetap teguh.
Setelah
berjibaku menggoda Arjuna dengan mempersembahkan kecantikannya yang paling
cantik, maka keadaan menjadi berubah. Bidadarilah yang tergoda akan
keteguhan tapa Arjuna. Itulah wiku wita raga.
Mata
yang melihat tidak terikat rupa, telinga tidak terikat lagi dengan suara-suara
yang indah, lidah yang mengecap rasa dan mengucap kata tidak terikat lagi pada
sad rasa. Kulit tidak terikat lagi pada sentuhan-sentuhan. Selain itu,
dalam melakukan tapa tersebut ada motif atau tujuan yang baik.
Saat
Bhatara Indra berubah menjadi pendeta dan menguji keteguhan tapa Arjuna, Beliau
bertanya motif atau tujuannya mendapatkan pasupati sastra. Arjuna mengatakan
ingin diabdikannya untuk sang kakak yaitu Yudistira sehingga Arjuna lolos ujian
dari Dewa Indra. Yang ketiga adalah bersatunya kesadaran dengan Siwa atau
intelektualitas bertemu dengan nilai religius.
Bhatara
Siwa sebelum menganugerahkan panah pasupati sastra menjelma sebagai pemburu dan
memanah berbarengan saat Arjuna juga memanah babi titisan dari Raksasa Muka
anak buah Raksasa Niwatakawaca.
Dalam
teks dikatakan sudah menjadi satu panah Arjuna dan dewa Siwa. Setelah
berdebat terkait siapa yang memanah lebih dahulu, akhirnya Arjuna sadar bahwa
yang dihadapinya adalah Dewa Siwa sehingga diberikanlah anugerah pasupati
sastra tersebut.
Jadi agar bisa ngelandepang idep dan bisa mendapatkan pasupati sastra ini, menurut kekawin Arjuna Wiwaha, seseorang harus melakukan yoga. (TB)