Ist Toleransi yang terjadi di Bali memang sangat kental. Apalagi toleransi antara umat Hindu dengan umat Islam atau umat Muslim. Seperti y...
![]() |
Ist |
Toleransi
yang terjadi di Bali memang sangat kental. Apalagi toleransi antara umat Hindu
dengan umat Islam atau umat Muslim. Seperti yang terjadi di Karangasem Bali. Dimana
di atas dataran tinggi di Kecamatan Karangasem, terdapat sebuah desa yang
heterogen dan desa tersebut bernama Desa Bukit. Penduduknya sebagian besar
memeluk agama Hindu, sebagian lagi memeluk agama Islam.
Dilansir
dari Tribun Bali, keberagaman dan toleransi antar umat beragama dijunjung
tinggi di desa ini. Dimana kegiatan adat dan budayanya sarat mengandung nilai
kebersamaan. Seperti halnya saat umat Muslim ngayah di areal Pura Bukit Kangin,
Desa Bukit.
Bentuk
toleransi dan kebersamaan ini konon sudah ada sejak abad ke-18. Tepatnya,
setelah penaklukan Kerajaan Selaparang, Lombok, NTB oleh Kerajaan Karangasem. Umat
Muslim menyapu secara bergotongroyong di area pura saat odalan besar, seperti
Karya Pujawali Bhatara Turun Kabeh. Biasanya mereka menyapu pagi hari mulai
pukul 06.00-07.30 Wita hingga upacara selesai.
Aktivitas
toleransi ini dan tertulis di Piagam Pura Bukit abad 18. Isi piagam tersebut
yakni penaklukan Kerajaan Selaparang hingga membawa enam orang penduduk Lombok
ke Karangasem dan diberi tempat tinggal di Desa Bukit.
Mereka
kemudian diberikan tugas oleh raja. Sebagian diberi tugas menjadi juru sapuh
dan tukang pukul bende tiap Ida Bhatara tedun melasti dan mesucian. Tradisi ini
adalah satu bentuk keberagaman dan toleransi beragama yang ada di Bali. Selain
menyapu pura, masih banyak aktivitas adat di Desa Bukit yang mengedepankaan
keberagaman dan kebersamaan.
Dilansir
dari Bali Express, Pura Bukit diperkirakan dibangun tahun 1600 Masehi. Ada
asal-usul yang melatarbelakangi kerukunan ini. Kisahnya bermula saat Kerajaan
Karangasem melakukan ekspansi wilayah ke Seleparang pada 1692. Kerajaan di
Pulau Lombok, yang kini menjadi desa di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat ini diserang oleh Kerajaan Karangasem yang saat itu dipimpin tiga
bersaudara, yakni I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah
Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem.
Saat
perang pecah, Karangasem mampu menaklukkan tentara Seleparang. Sebagai
konsekuensi, enam warga Sasak asal Seleparang ditawan. Mereka dibawa ke
Karangasem oleh Raja Karangasem XIV I Gusti Gede Jelantik pada 1894. Enam orang
yang ditawan diperintah untuk menjadi pangayah (juru sapu) di Pura Bukit.
Saat
dibawa dari Lombok, warga Sasak diberikan tempat tinggal di sebuah perbukitan
dekat dengan lokasi Pura Bukit. Tempat tersebut kini dinamai Dusun Kampung
Anyar. Dusun itu termasuk dalam wilayah Perbekel Desa Bukit, Kecamatan
Karangasem.
Berdasarkan
catatan, warga Sasak diberikan izin tinggal di beberapa titik, mengitari Puri
Agung Karangasem. Meski begitu, hanya warga Kampung Anyar yang ngayah. Ini ada
kaitannya dengan lokasi pemukiman yang dekat dengan pura.
Menurut
tokoh Puri Agung Karangasem Anak Agung Made Kosalia, kewajiban atas titah Raja
I Gusti Gede Jelantik kepada warga Sasak tersebut, tertuang dalam Piagam Pura
Bukit. Salah satunya memerintahkan warga Sasak Seleparang turun ngaturan ayah
sebagai juru sapu menjelang dan sesudah piodalan, serta menjadi tukang pukul bende
(gong kecil) saat piodalan.
Ketentuan
itu, telah dijalankan oleh warga Kampung Anyar hingga kini tanpa pernah
terputus atau berhenti. Warga Kampung Anyar juga menyadari, ketentuan tersebut
merupakan perjanjian sejak zaman dahulu. Sehingga ada kepercayaan jika berhenti
ngayah bakal mendapat sesuatu yang berhubungan dengan niskala.
“Kita
mesti paham latar belakang sejarahnya bagaimana. Karena kalah perang, mereka
lantas diberikan tugas sebagai juru sapu dan tukang pukul bende. Artinya,
apapun jenis upacara yang sifatnya nedunan Ida bhatara, orang Kampung Anyar
pasti turun (ngayah),” kata Agung Kosalia.
Menjelang
piodalan, sebanyak 16 orang Kampung Anyar akan membagi tugas. Mereka ada yang
menyapu, dan ada pula yang mengumpulkan sampah-sampah. Aktivitas ini kerap
terlihat menjelang upacara besar berlangsung di Pura Bukit.
Saat
Pujawali bertepatan pada purnamaning sasih kapat nemu beteng, biasanya warga
Sasak Kampung Anyar ikut menyiapkan persiapan upacara sesuai dengan porsi dan
tugasnya. Ada pula warga yang bersiaga saat puncak upacara apabila
sampah-sampah membludak. “Mereka memang bertugas membersihkan pura. Tapi umat
Hindu juga ada yang membantu,” kata Kosalia yang juga Pangrajeg Piodalan Pura
Bukit ini.
Selain
membersihkan pura, empat orang juga ditugaskan menjadi pangayah tukang pukul
bende. Mereka merupakan keturunan dari orang pertama yang ditunjuk raja. Kata
Agung, mereka dari awal tidak pernah diganti. Sebab titah raja meminta pemukul
bende diambil dari keturunan Papuk Ali, kakek dari Burhan yang kini rutin
ngayah sebagai pemukul bende.
Burhan
menjadi generasi ketiga sebagai pemukul bende. Sebelumnya, kakeknya bernama
Papuk Ali, kemudian ayahnya Saptana atau Papuk Sapine. Sementara tiga orang
lainnya membantu Burhan. Pembagian tugasnya, dua orang pemukul bende utama, dua
orang lagi cadangan.
Agung
Kosalia menambahkan, bende dibunyikan setiap upacara di pura berlangsung,
terutama piodalan. Bende ini telah disucikan karena memiliki histori saat
invasi dilakukan sampai ke Lombok. Konon, bende ini sebagai alat musik pemberi
semangat bagi bala tentara di medan perang. Sepulang dari Seleparang, bende ini
ditempatkan di Pura Bukit.
Yang
terlihat unik, pemukul bende tetap mengenakan pakaian khas muslim. Seperti
mengenakan pakaian safari, sarung, lengkap dengan peci. Tak pelak, empat warga
Kampung Anyar sering menjadi sorotan. Meski begitu, antara warga Hindu dengan
Islam tetap menghargai. Tidak pernah terjadi gesekan. “Saat melasti dari Desa
Bukit menuju Pantai Ujung sangat jauh. Empat orang ini akan bergantian.
Istilahnya estapet memukul bende,” katanya.
Agung
enggan menyebut hal ini sebagai suatu paksaan. Sebab semua yang telah terjadi
saat ini merupakan jejak sejarah yang sudah berlangsung sejak lama. Bahkan
ketika Kerajaan Karangasem takluk oleh Belanda pada akhir 1894, tradisi ini
tidak pernah berhenti. Hingga kini warga Kampung Anyar menyambutnya penuh
suka-cita, bukan memandang ketentuan tersebut sebagai tindak lanjut atas titah
Raja Karangasem.
Sebagai
apresiasi, Puri Agung Karangasem sebagai pangempon Pura Bukit membuat kebijakan,
dengan memberikan 21,5 catu beras, atau setara 51,5 kilogram beras kepada warga
Kampung Anayar yang ngayah. Mereka membagikan beras tersebut. Puri juga
memberikan upah Rp 100 ribu per orang. Sementara itu pemukul bende juga diberi
Rp 100 ribu per orang setiap kali ngayah.
Sebagai
tradisi yang telah mengakar, pihak Puri Agung Karangasem berharap warga Kampung
Anyar tetap mempertahankan persatuan dalam menjalin hubungan selama ini. Jangan
sampai ada perpecahan di antara dua belah kelompok. “Kami intens berkomunikasi.
Para tetua adat Sasak di Kampung Anyar juga kami berikan pendekatan. Mereka
paham bahwa ini sejarah dan hubungan ini mesti dipertahankan. Ini sudah tradisi
yang wajib ada sampai seterusnya,” katanya. (TB)