Sumber Foto travelingyuk.com Secara umum, di Bali ada tradisi menanam ari-ari atau placenta dari bayi yang dilahirkan di pekarangan rumah...
![]() |
Sumber Foto travelingyuk.com |
Secara
umum, di Bali ada tradisi menanam ari-ari atau placenta dari bayi yang
dilahirkan di pekarangan rumah. Namun, ada daerah di Bali yang tak menanam
ari-ari di pekarangan rumah. Melainkan ari-ari ini digantung pada sebuah pohon
khusus.
Ritual
unik ini tedapat di Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli,
Bali. Dilansir dari disparbud.banglikab.go.id ari-ari bayi baru lahir tidak
ditanam di pekarangan rumah, melainkan digantung di sebuah kuburan khusus yang
oleh warga setempat disebut setra (kuburan) ari-ari. Adapun pohon
tempat menggantung ari-ari tersebut terbilang langka. Pohon tempat menggantung
ari-ari itu disebut pohon kayu bungkak, pohon itu dipelihara dengan baik di
setra ari-ari di desa Bayung Gede.
Setra
ari-ari ini terletak di selatan desa dan dikelilingi jalan melingkar yang bisa
dilalui kendaraan bermotor. Luasnya sekitar 60 are. Kuburan ini berupa sebuah
hutan kecil yang ditumbuhi berbagai pepohonan, terutama pohon bukak.
Pohon
bukak itu diduga memiliki fungsi yang sama dengan pohon taru menyan di Desa
Trunyan, yakni menyerap bau. Itu sebabnya, meskipun di kuburan ini ada banyak
ari-ari yang digantung dan sudah berusia lama, sama sekali tak tercium bau
tidak sedap.
Tidak ada yang tahu persis kapan tradisi menggantung ari-ari ini dimulai. Dipercaya oleh masyarakat setempat, tradisi ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Warga Bayung Gede meyakini bahwa tradisi ini ada kaitannya dengan asal mula terbentuknya Desa Bayunggede.
Dikatakan jika manusia pertama di Bayung Gede ini
lahir dari tued atau sisa pangkal kayu yang dipotong. Kemudian dihidupkan dengan
Tirta Kamandalu oleh kera putih yang merupakan putra dari Bhatara Bayu. Penggantungan
ari-ari di pohon juga perwujudan dari ideologi Catur Sanak yang diyakini harus
dikembalikan ke asal mereka, yaitu kayu.
Ada
syarat khusus yang dilakukan dalam menggantung ari-ari ini, dimana ari-ari bayi
hanya boleh dibawa ke setra kala subuh atau kala mentari telah terbenam. Sangat
pantang untuk membawa ari-ari saat mentari masih bersinar.
Sebelum
dibawa ke setra ari-ari dicuci bersih sebersih-bersihnya, lalu dimasukkan ke
batok kelapa serta diikat dengan tali khusus yang disebut salang tabu. Oleh
sang ayah, ari-ari kala di bawa ke kuburan dan diangkat dengan tangan kiri,
sementara tangan kanan membawa sabit. Dengan sabit itulah cabang pohon kayu
bungkak di potong, sebagai tempat gantungan batok kelapa yang berisi ari-ari.
Hingga
saat ini, masyarakat tetap taat menjalani tradisi menggantung ari-ari secara
turun temurun hingga kini. Namun, jika terbukti melanggar, keluarga yang
bersangkutan harus membayar dengan 200 keping uang kepeng dan melaksanakan
upacara mesayut untuk menyucikan kembali pekarangan mereka.
Salah
satu tokoh masyarakat di Desa Bayung Gede, Gede Seriman yang dilansir dari
NusaBali mengatakan ari-ari bayi yang baru lahir jika ditanam di pekarangan
rumah akan menimbulkan leteh (kotor) dan sarat akan pengaruh buruk yang akan
berdampak pada pekarangan tersebut.
Masyarakat
biasanya juga memasukkan benda-benda yang bervariasi ke dalam tempurung ari-ari
sebelum dibawa ke setra ari-ari. Ada yang memasukkan robekan tikar, pensil, robekan
kertas, mawar, merica/ketumbar, kapur sirih, kunyit, jeruk nipis, hingga duri
terung/terong. Fungsinya, agar si bayi tetap harum, hangat, terjaga, dan tumbuh
menjadi pribadi yang cerdas kelak.
Terakhir,
tempurung kelapa akan ditutup menggunakan sisa pangkasan tadi, dan selanjutnya
diikat mengganakan tali bambu dengan simpul salang tabu. Juga diolesi dengan kapur
sirih pada ruas-ruas batok kelapanya agar dua belah tempurung tetap melekat dan
rapat satu sama lain.
Keluarga
yang baru saja menggantung ari-ari wajib menandai rumahnya dengan daun pakis
agar warga tahu bahwa rumah di tersebut ada bayi yang baru lahir dan pantang
didatangi oleh orang suci maupun tokoh desa. Setelah satu bulan tujuh hari,
barulah dilaksanakan upacara penyucian sederhana di pekarangan rumah dan
aktivitas pun kembali berjalan normal.
Adapun
yang membawa ari-ari tersebut wajib seorang laki-laki. Jika ayahnya
berhalangan, maka boleh digantikan oleh anggota keluarga yang lain dan harus
seorang laki-laki. Mereka pun harus menggunakan pakaian adat dan membekali diri
dengan sabit.
Alasannya
yakni, konon dulu, kuburan itu adalah hutan yang luas, bisa jadi akan ada
binatang buas yang muncul, sehingga laki-lakilah yang harus berangkat, dan
sabit juga berfungsi sebagai senjata selain untuk menebas semak dan ranting
Pohon Bukak untuk menggantung ari-ari.
Selain
itu, juga pantang untuk melakukan interaksi dengan siapa pun ketika hendak
membawa ari-ari ke kuburan. Dilarang ngobrol, tolah-toleh, juga tertawa. Hal
ini diyakini dapat membuat pertumbuhn bayi menjadi tidak baik dan kelak tumbuh
menjadi pribadi yang tidak fokus pada tujuan dan hal buruk lainnya.
Selain
itu, pantang juga untuk menebang pohon di lingkungan kuburan untuk kepentingan
pribadi. Sebagai ganjaran, yang menebang tersebut harus menerima sanksi adat
dan harus menanam pohon berjenis sama di areal pekuburan. Hal itu dilakukan
karena diyakini bahwa pohon-pohon yang ada di areal tersebut cukup keramat dan
harus dijaga.
Saat
pulang, wajib membawakan kayu bakar yang dipungut di areal kuburan jika si bayi
berjenis kelamin pria dan jika bayinya perempuan, sang ayah wajib membawa
tumbuhan paku yang bisa dijadikan sayur untuk dibawa pulang. Sesampainya di
rumah, sang ayah harus menyampaikan apa saja yang dibawa pada bayinya. Diyakini
barang-barang tersebut sebagai symbol kekuatan dan kecerdasan dalam mengolah
hidup oleh sang bayi kelak.
Pohon
bukak yang digunakan untuk menggantung ari-ari ini diduga memiliki fungsi yang
sama dengan pohon taru menyan di Desa Trunyan, yakni menyerap bau. Itu
sebabnya, meskipun di kuburan ini ada banyak ari-ari yang digantung dan sudah
berusia lama, sama sekali tak tercium bau tidak sedap.
Dinamai
Pohon Bukak karena ketika masak, buahnya akan terbuka dan terbelah menjadi dua.
Pohon Bukak juga melambangkan alat vital perempuan yang diyakini sebagai ibu
saudara bayi yang akan mengasuhnya secara magis. Dari simbolisasi ini, Pohon
Bukak dimaknai sebagai manusia yang akan menjaga saudara bayi (ari-ari) dari
berbagai macam gangguan gaib. (TB)