Sumber: pixabay.com Setiap enam bulan sekali tepatnya pada Rabu Kliwon Wuku Dungulan, umat Hindu Nusantara khususnya Bali merayakan hari ...
![]() |
Sumber: pixabay.com |
Setiap
enam bulan sekali tepatnya pada Rabu Kliwon Wuku Dungulan, umat Hindu Nusantara
khususnya Bali merayakan hari raya Galungan. Kata Galungan berasal dari bahasa
Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan
dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang
kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu
disebut Wuku Dungulan.
Galungan
adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual
dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma
melawan adharma.
Dalam
lontar Sunarigama, disebutkan Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan
ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan
segala kekacauan pikiran.
Jadi,
inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan
pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud
dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep)
adalah wujud adharma.
Dari
konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan
adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma. Meskipun Galungan itu
disebut Rerahinan Gumi yang artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula
perbedaan dalam hal perayaannya.
Berdasarkan
sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke
abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada
embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa.
Dilansir
dari website PHDI Banten, Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh
umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Sementara
Galungan Nadi merupakan Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali
berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa. Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh
pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi)
atau pada bulan Oktober.
Disebutkan
dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan
Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Sedangkan
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih
Kesanga.
Dalam
lontar Sanghyang Aji Swamandala disebutkan, inilah petunjuk Bhatara di Pura
Dalem (tentang) kotornya hari bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila
tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan
itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak
dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng.
Dan
bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih
kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan
upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila
tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar)
kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Agak
sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan
sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di
daerah lain khususnya di Bali. Mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen
Agama RI, I Gusti Agung Gede Putra memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan
umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau
Bali.
Dugaan
ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat
Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah
namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun
di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali
Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan,
tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan lerayaan Hari
Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan
sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak
itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah
Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba pada tahun 1103
Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya
memegang tampuk pemerintahan.
Galungan
juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi.
Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur
para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika
Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka,
barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih
selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam
lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja
dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang
terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa.
Dewa
Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena
kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik
atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa.
Dalam
pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur
pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta
kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon
Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku.
Di
samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari
Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok
perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara
yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia
dan lingkungannya.
Semenjak
Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi
dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali. (TB)