Ist Bali memiliki banyak keunikan. Selain budayanya, juga kental dengan toleransinya. Seperti halnya yang ada di salah satu desa di Bali i...
Ist |
Bali
memiliki banyak keunikan. Selain budayanya, juga kental dengan toleransinya.
Seperti halnya yang ada di salah satu desa di Bali ini. Meskipun mayoritas
penduduknya beragama Islam atau Muslim namun mereka memakai nama Bali.
Nama
desanya adalah Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa ini berada di
lereng Bukit Gitgit, satu di antara jajaran perbukitan yang memisahkan Bali
bagian utara dengan wilayah selatan. Jaraknya sekitar 9 Km dari kota
Singaraja, sehingga tidak sulit untuk mencapai lokasi desa ini, meskipun berada
di balik bukit yang dikelilingi kebun cengkeh dan kopi.
Pegayaman
terbagi dalam empat banjar atau dusun adat, yakni Banjar Dauh Rurung, Banjar
Dangin Rurung, Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari. Setiap banjar dipimpin
seorang kelian sebagai kepala dusun.
Uniknya,
umat Islam di Desa Pegayaman membubuhi nama urutan keluarga sesuai tradisi
Bali, seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau
Nengah (anak kedua); Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga), dan Ketut untuk
anak keempat di nama mereka yang berbau Islam.
Akan
tetapi ada perbedaan yang mencolok pada hiasan rumah.Umat Islam Pegayaman tidak
menggunakan ukir-ukiran yang merupakan hal wajib bagi rumah warga Hindu di
Bali. Rumah penduduk muslim juga tidak dilengkapi bangunan sanggah/merajan yang
menjadi tempat persembahyangan keluarga di salah satu sudut rumah warga Hindu
di Bali.
Umat Islam di Pegayaman tidak merasa eksklusif. Hal ini dapat diamati pada saat perayaan Hari besar Agama Hindu seperti menjelang Nyepi, umat Islam ramai-ramai membantu tetangganya yang beragama Hindu membuat dan mengarak “ogoh-ogoh”.
Pada
saat Nyepi pun, mereka menghentikan aktivitas sehari-hari dan berdiam diri di
dalam rumah untuk menghormati umat Hindu yang melaksanakan ritual tapa brata.
Demikian halnya pada hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu turut
memberikan makanan kepada tetangganya yang muslim dan tentunya halal.
Sebaliknya,
saat Lebaran dan Hari Raya Kurban, umat Islam yang melakukan tradisi “ngejot”
atau memberikan makanan kepada tetangga sekitar rumah. Prilaku seperti itu
mencerminkan kehidupan yang harmoni dan penuh toleransi dan sudah barang tentu
ini haruslah dicontoh oleh seluruh desa-desa lain untuk menghindari konflik
yang berkepanjangan. Sehingga pada akhirnya tercipta ketentraman dan kedamaian
dalam menapak kehidupan ini.
Kehidupan
di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan
hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di
pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti
subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik.
Secara historis Islam di Desa Pegayaman sudah ada sejak Raja Buleleng, Panji Sakti, berkuasa pada abad ke-15. Menurut I Ketut Ahmad Ibrahim, sesepuh Desa Pegayaman yang dilansir dari merdeka.com, pada saat Panji Sakti berkuasa pernah mendapat hadiah seekor gajah dan 80 prajurit dari Raja Surakarta di Jawa Tengah.
“Hadiah itu sebagai bentuk persahabatan antara kedua
kerajaan. Prajurit dari Jawa itu ditempatkan di Desa Pegayaman untuk
membentengi Puri Buleleng dari serangan prajurit kerajaan di Bali bagian
selatan seperti Raja Mengwi dan Raja Badung,” katanya.
Para
prajurit dari Jawa kemudian menetap dan kemudian berbaur dengan masyarakat
lainnya. “itu cerita saya terima dari orang-orang dulu,” kata Ketut Ibrahim.
Ada
juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok kaum urban yang datang ke
Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik pada 1850 Masehi.
Rombongan itu diduga berasal dari bugis, Sulawesi Selatan.Hal itu dapat dilihat
bahwa sampai saat ini, tetua Desa Pegayaman adalah seorang keturunan Bugis.
Mereka
menetap di Desa Pegayaman yang berjarak sekitar 9 km dari Singaraja sebagai Ibu
Kota Buleleng. Di desa itulah mereka menetap dan berbaur dengan warga asli
Pegayaman yang beragama Hindu hingga beranak-pinak.
Kesenian khas Desa Pegayaman, yang disebut burba. Lagu dan tarian ini memang sangat Islami, tetapi kental dengan nuansa Bali. sebab, para “pelaku”-nya memang umat Islam yang bermukim di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara.
Sebagian besar penduduk desa ini muslim. Mereka disebut “Nyama Slam”, atau “saudara Islam” oleh warga Hindu Pegayaman dan sekitarnya. pekerjaan pokok mereka berkebun. Lebih jauh juga dikatakan bahwa tidak ada masalah dengan umat lain dan tidak merasa berbeda. Kecuali dalam syariat.
Dalam
masalah perkawinan, seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk
muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila pihak pria beragama Islam, istrinya
mengikuti agama suaminya. Begitu pula sebaliknya. Perkawinan di Bali memang
menganut system patrilinial. Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda
dengan masyarakat desa sekitar.
Dalam
kasus percintaan dua anak manusia, jika seorang pemuda bertandang ke rumah
gadis, mereka tak boleh bertemu langsung tetapi bicara melalui celah di balik
dinding. Berbeda halnya jika pertemuan tidak didasari atas cinta pertemuan
boleh dilakukan secara langsung dengan si gadis.
Dan
kunjungan kerumah gadis juga tidak boleh di malam hari tetapi pada siang hari
sebab tradisi yang ada gadis setelah waktu adzan maghrid tidak
diperkenankan keluar rumah. Sedangkan proses alkulturasi dalam bidang
arsitektur masjid sudah terjadi pada awal kedatangan Islam ke Bali sehingga
wujud masjid di Bali menunjukan perpaduan antara kedua seni budaya yang
bernafaskan Hindu dan agama Islam.
Dalam
kehidupan pertanian pun umat Muslim menerapkan tata cara seperti yang dilakukan
oleh petani yang beragama Hindu meskipun dalam hal mensyukuri saat panen yang
berbeda tetapi esensinya sama.
Sementara
itu dilansir dari Tempo.co, Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Buleleng, Bali memiliki luas 1.584 hektare persegi. Penduduknya adalah umat
Islam Bali. Penduduk Bali menyebut mereka dengan istilah nyama selam. Nyama
berarti saudara, dan selam berarti Islam. Atau, bisa diartikan sebagai orang-orang
Islam yang menjalankan tradisi Bali.
Penghulu
imam Desa Pegayaman, Haji Nengah Abdul Ghofar Ismail, menjelaskan keberadaan
Nyema Salam di Desa Pegayaman tak lepas dari sejarah masuknya Islam ke desa
itu. “Leluhur Desa Pegayaman disebut sitindih artinya orang-orang pembela
kerajaan,” kata Nengah Abdul.
Mengutip
catatan sejarah, Nengah Abdul bercerita, pada 1711, terjadi perang antara
Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Buleleng. Pada saat itulah orang-orang Pegayaman
menghadang di Desa Gitgit, hingga terjadi pertempuran hebat sampai ke Desa
Pancasari.
Kabar
pertempuran tersebut diketahui oleh pasukan Teruna Goak (Pasukan Gagak Hitam)
milik Ki Barak Panji Sakti dari Desa Panji yang segera bergabung untuk memukul
mundur pasukan Kerajaan Mengwi.
Pada
1850 kapal kelompok imigran Bugis yang hendak menuju Jawa-Madura terdampar di
pesisir Buleleng. Sebanyak 40 pasukan Bugis tersebut menghadap kepada Ki Barak
Panji Sakti.
Oleh
sang raja mereka diberikan kebebasan untuk memilih tinggal di pesisir atau di
Desa Pegayaman mengingat mereka beragama Islam. Sebagian memilih tinggal di
pesisir karena orang Bugis terkenal sebagai penjelajah laut dan sebagian lagi
memilih bergabung dengan orang Pegayaman karena alasan agama. “Perpaduan tiga
suku Jawa, Bugis, dan Bali inilah yang kini menjadi warga asli Desa Pegayaman,”
ujar Negah Abdul.
Kisah
masuknya agama Islam di Pegayaman diabadikan menjadi nama masjid, yaitu Masjid
Jami Safinatussalam. Masjid Jami Safinatussalam merupakan masjid tertua di
Pegayaman. Keberadaan masjid ini diperkirakan sudah ada sejak awal Desa
Pegayaman.
“Safinatussalam
berarti perahu keselamatan. Diberi nama safinatussalam karena datangnya
menggunakan perahu dari Jawa, sampai dengan selamat di Bali,” jelas pria
lulusan Pesantren Darussalam, Banyuwangi dan Pesantren Al-Falah, Kediri, Jawa
Timur ini.
Asal-usul
nama Pegayaman pun ada dua versi. Pertama, berasal dari kata gayam (bahasa
Jawa) yang merupakan jenis tumbuhan. Dalam bahasa Bali disebut buah gatep.
“Dahulu sebelum dibuka menjadi pemukiman, wilayah desa ini banyak ditumbuhi
pohon gatep atau gayam sehingga disebut Pegayaman,” katanya.
“Sedangkan
versi kedua berasal dari nama senjata, Keris Gayaman yang ada pada zaman
Kerajaan Mataram,” katanya. (TB)