Ist Pura yang ada di Bali ini terbengkalai selama 350 tahun. Akhirnya tahun 2001 pura ini dibangun kembali. Nama pura ini adalah Pura Boto...
![]() |
Ist |
Pura
yang ada di Bali ini terbengkalai selama 350 tahun. Akhirnya tahun 2001 pura
ini dibangun kembali. Nama pura ini adalah Pura Botoh yang berlokasi di Jalan
Tukad Melangit, Banjar Antap, Kelurahan Panjer, Denpasar, Bali.
Dimana,
pada Senin 7 Agustus 2017, dilaksanakanlah upacara Melaspas, Mendem Pedagingan,
serta dan Macaru menggunakan sarana kambing di pura setempat pada Purnama Sasih
Karo, tepatnya pada Soma Wage Dukut.
Upacara
ini serangkaian tuntasnya pembangunan fisik Pura Botoh yang selama 16 tahun
dikerjakan dari tahun 2001. Upacara Melaspas, Mendem Pedagingan, serta
Caru Rsi Gana ini dipuput oleh Ida Pedanda Putra Telaga Sanur dan Ida Pedanda
Giri Jelantik dari Griya Gunung Sari Ubud.
Selain
itu, pada 5 Septermber 2017 juga digelar Padudusan Agung yang bertepatan dengan
Purnama Ketiga.
Dilansir
dari Nusa Bali, panglingsir sekaligus penanggung jawab Pura Botoh, I Gusti
Ketut Adi Kertiyasa mengatakan, jika Pura Botoh sendiri tidak aktif selama 350
tahun. Kemudian atas kehendak-Nya, Pangelingsir Gusti Kertiyasa mulai
mengaktifkan kembali keberadaan Pura Botoh dengan pembangunan fisik yang
dimulainya tahun 2001.
Ada
sebanyak 26 palinggih di Pura Botoh. Dimana seluruh palinggih tersebut
berkaitan dengan Ida Sang Hyang Bang Manik Angkeran, putra dari Dang Hyang
Sidhimantra yang tercantum dalam purana dan babad.
Untuk
sistem membangunnya diselesaikan secara bertahap, satu persatu. Selama masa
pembangunan fisik, di Pura Botoh tiap tahunnya tetap menyelenggarakan pujawali
dan macaru serta padudusan alit yang jatuh setiap Purnama Sasih Ketiga.
Sementara
itu, dilansir dari Bali Express, selama 350 tahun itu, pura ini hanya berupa
Gegumuk. Baru pada tahun 2001, pura tersebut direnovasi dengan membangun
beberapa pelinggih dengan disaksikan dan direstui oleh Ida Pedanda Rsi Agung
Pinatih.
Jro
Mangku Istri Pura Botoh, A.A Ayu Setianingsih kepada Bali Express mengatakan
jika pada purnama ketiga tahun 2002 dilaksanakan upacara pemelaspasan dan
pengenteg linggih.
Pada
saat itu, dikatakan Jro Mangku Istri, Ida Bhatara menunjuk pemangku pengadengan
yaitu Jro Mangku Istri A.A Ayu Setianingsih sebagai Pemangku Gede di Pura
Botoh. Sehingga, Jro Mangku Istri menjadi pemangku utama di Pura Botoh dan
suaminya yakni I Gusti Ketut Adi Kertiyasa sebagai pengayah.
Konsep
pemangku di Pura Botoh ini menurut I Gusti Ketut Adi Kertiyasa cukup unik,
pasalnya yang menjadi pemangku utama di Pura Botoh ini adalah Mangku Istri,
sedangkan Mangku Lanangnya yakni Kertiyasa sebagai pengayah.
Penunjukan
ini diakuinya Kertiyasa langsung dilakukan oleh Ida Bhatara Dang Hyang Bang
Manik Angkeran melalui pawisik yang diterima langsung oleh Jro Mangku istri.
Selain
itu, Kertiyasa mengaku beberapa kali sudah berusaha untuk belajar supaya bisa
mengantikan tugas dari Jro Mangku Istri, namun diakui Kertiyasa, upaya tersebut
sia-sia, karena upayanya tersebut tidak berhasil, dan tetap saja tidak bisa
mengantikan pemangku istri.
Untuk
diketahui meskipun namanya adalah Pura Botoh, tetapi Pura ini bukan khusus bagi
kalangan bebotoh atau penjudi. Bagi masyarakat awam, mungkin Pura Botoh kerap
dikaitkan dengan para bebotoh. Namun sesungguhnya Pura Botoh ini termasuk dalam
jenis Pura Dang Kahyangan.
Sejarah
pura ini tidak terlepas dari perjalanan Dang Hyang Bang Manik Angkeran yang
melakukan perjalanan dari Pulau Jawa menuju Gunung Tohlangkir atau Gunung Agung.
Menurut
Jro Mangku Istri Pura Botoh, A.A Ayu Setianingsih, Pura Botoh ini adalah tempat
stana dari Ida Bhatara Dang Hyang Bang Manik Angkeran, putra dari Ida Dang
Hyang Sidimantra. Jika dilihat dari sejarahnya, perjalanan dari Dang Hyang Bang
Manik Angkeran menuju Gunung Tohlangkir untuk mencari harta kekayaan Ayahnya.
Dikatakan
bahwa Dang Hyang Bang Manik Angkeran mendengar percakapan ayah dan ibunya bahwa
kekayaan yang dimilikinya tidak akan pernah habis karena diberikan oleh
sahabatnya yakni Ida Hyang Naga Basuki yang tinggal di Gunung Tohlangkir.
Karena
rasa penasaran yang sangat tinggi, akhirnya secara diam-diam, Dang Hyang Bang
Manik Angkeran pergi ke Gunung Tohlangkir untuk bertemu dengan sahabat ayahnya
tersebut. Dalam perjalanannya menuju Gunung Tohlangkir, Dang Hyang Bang Manik
Angkeran harus melewati hutan belantara naik bukit turun jurang.
Kemudian
sebagai pegangan, agar tidak terjatuh, Dang Hyang Bang Manik Angkeran memotong
ranting pohon sebagai tongkat untuk membantu perjalanan beliau.
Setelah
beberapa lama berjalan, akhirnya Dang Hyang Bang Manik Angkeran sampai di suatu
tempat, namun di tempat tersebut, Dang Hyang Bang Manik Angkeran kebingungan
tidak tahu arah menuju Gungung Tohlangkir. Tiba-tiba di tengah kebingungan
tersebut, terdengar suara gaib yang intinya ingin membantu perjalanan Dang
Hyang Bang Manik Angkeran.
Karena
hanya suara saja, yang terdengar, Dang Hyang Bang Manik Angkeran tidak percaya
sebelum makhluk tersebut menampakan wujud sebenarnya. Kemudian muncullah dua
makhluk gaib sejenis Jin yang ternyata mahluk tersebut adalah sahabat
ayahnya dan sengaja membuntutinya.
Jin
tersebut bernama Jin Lekap Sakti dan Jin Jaba Sakti. Setelah melalui
pembicaraan panjang, akhirnya kedua Jin itu bersedia mengantarkan Dang Hyang
Bang Manik Angkeran sampai ke tempat tujuan, namun dengan satu syarat yakni
sebagai bukti bahwa kedua Jin tersebut telah bertemu dan menolongnya, maka Jin
tersebut menohon Dang Hyang Bang Manik Angkeran bersedia menancapkan tongkat
yang dibawanya di tempat tersebut.
Dang
Hyang Bang Manik Angkeran akhirnya setuju, dan setelah tongkat tersebut
ditancapkan, keluarlah sinar merah kekuning-kuningan, dan sinar itulah yang
dikatakan Jro Istri sebagai Sinar Botoh (bahasa Sannsekerta). Maka mulai saat
itu, tempat yang ditancapkan tongkat tumbuh pohon beringin dan kemudian
dinamakan Pura Botoh hingga saat ini.
Jero
Mangku Istri mengatakan, pura ini merupakan stana dari Dang Hyang Bang Manik
Angkeran beserta dengan keturunannya, yakni Ida Bhatara Bang Banyak Wide (Arya
wang Bang Pinatih), Ida Bhatara Bang Tulus Dewa (Arya wang Bang Sidemen), Ida
Bhatara Bang Waya Biya (Arya wang Bang Waya Biya) dan Ida Bhatara Sira Bang
Agra Manik (Sira Agra Manikan). (TB)