Ist Masyarakat di Bali berdasarkan tradisinya dibagi menjadi dua. Petama adalah masyarakat atau orang Bali Aga atau Bali mula atau Bali pegu...
![]() |
Ist |
Masyarakat di Bali berdasarkan tradisinya dibagi menjadi dua. Petama adalah masyarakat atau orang Bali Aga atau Bali mula atau Bali pegunungan dan kedua adalah Bali daratan atau biasa juga disebut Bali Majapahit.
Masyarakat Bali aga ini dianggap sebagai penduduk pertama di Bali sebelum kedatangan orang-orang dari Majapahit.
Dilansir dari laman goodnewsfromindonesia.id disebutkan jika migrasi kedatangan masyarakat ke Pulau Bali terjadi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama berlangsung pada zaman prasejarah.
Selanjutnya gelombang kedua penyebaran terjadi ketika momen perkembangan agama Hindu di wilayah Nusantara. Dan ketiga, gelombang migrasi berlangsung saat Majapahit runtuh dan terjadinya proses Islamisasi di Pulau Jawa.
Dari ketiga gelombang migrasi tersebut, dua gelombang migrasi pertamalah yang disebut dengan Suku Bali Aga. Orang Bali yang berasal dari Suku Bali Aga memiliki tempat hidupnya tersendiri.
Mereka biasa membangun komunitas di kawasan pegunungan. Dimana, dalam kesehariannya, orang Bali Aga terbiasa dengan aturan adat yang begitu ketat.
Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak wisatawan yang menyebut Bali Aga layaknya sebagai Suku Badui yang ada di Banten. Mereka juga dikenal dengan Bali Pegunungan, yang identik dengan orang gunung dan berada di kawasan pedalaman yang tidak terjamah oleh teknologi.
Untuk sejarah dan cikal bakal dari penduduk Bali Aga ini sendiri, berasal dari bangsa Austronesia yaitu daerah Tonkin, China. Mereka datang mengarungi laut dengan kapal bercadik dan akhirnya tiba di pulau Bali dan diperkirakan itu terjadi pada 2.000 tahun SM.
Diketahui, bangsa ini memiliki kreasi seni tinggi. Hal ini terbukti dengan ditemukannya berbagai hiasan-hiasan pada sarkofagus dan nekara yang ditemukan dan sekarang masih tersimpan rapi. Bangsa Austronesia ini membentuk suatu persekutuan hukum yang kemudian menjadi cikal bakal Bali Aga.
Pada masa tersebut penduduk Bali Aga belum mengenal kehidupan beragama. Mereka hanya menyembah leluhur mereka yang disebut “Hyang”. Pada periode berikutnya, melihat sisi kehidupan Bali Aga tersebut, maka sejumlah penyebar agama Hindu datang ke Bali untuk menyebarkan agama. Salah satunya adalah Resi Markandya yang disebutkan berasal dari tanah India.
Beliau diberi petunjuk oleh Yang Maha Kuasa untuk melakukan upacara dalam penanaman lima unsur dari logam yang dikenal dengan Panca Datu agar diberi keselamatan dan menolak segala marabahaya. Tempat dilakukan upacara tersebut adalah di Wasuki kemudian menjadi Basuki dan akhirnya menjadi Besakih, tempat pura terbesar di Bali yaitu Pura Besakih, terletak di Karangasem, wilayah Bali Timur.
Dari sinilah awal kehidupan yang harmonis antara penduduk Bali Aga atau Bali Mula dengan masyarakat pendatang pengikut Resi Markandya.
Dalam perkembangan selanjutnya, saat runtuhnya Majapahit di Jawa, membuat pemeluk Hindu semakin banyak datang ke Bali, kemudian mereka bermukim dan menetap di Bali dan mengembangkan pengaruh-pengaruh Hindu, dan sampai sekarang mereka hidup harmonis.
Masyarakat Bali Aga merupakan kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali. Perlawanan dari masyarakat Bali Aga dapat dirasakan oleh Majapahit saat kepemimpinan Raja Sri Kresna Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.
Meskipun dikuasai Majapahit, namun kebudayaan masyarakat Bali Aga tetap lestari hingga sekarang. Beberapa desa yang menjadi bukti, seperti Desa Trunyan dan Desa Tenganan.
Desa Trunyan adalah salah satu desa yang penduduknya tergolong suku Bali Aga yang mendiami tepi Danau Batur yang terdapat di wilayah Kabupaten Bangli.
Ciri khas desa ini adalah jika ada kematian, penduduk setempat menaruh mayat manusia di bawah pohon "Taru Menyan". Orang Trunyan percaya bahwa bau mayat yang menyengat dapat dihilangkan oleh aroma yang keluar dari pohon Taru Menyan tersebut.
Sementara itu, Desa Tenganan Pegeringsingan yang terletak di Kabupaten Karangasem juga merupakan suku Bali Aga. Keunikan desa ini adalah ketatnya masyarakat setempat dalam melindungi dan melestarikan hutan adat.
Mereka memiliki awig-awig (hukum atau aturan adat) yang mengatur pengelolaan hutan termasuk pelarangan menebang pohon. Selain itu, bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak Pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun mereka pertahankan.
Dilansir dari website Disbud Buleleng, Bali Aga merujuk pada desa dengan sejarah masyarakat setempat, juga dengan budaya, adat tradisi dan keyakinan beragama Hindu yang berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya.
Masyarakat Bali Aga dianggap sebagai penduduk asli yang mempertahankan berbagai macam budaya dan tradisi leluhur mereka dan bertahan sampai sekarang.
Untuk di Buleleng sendiri terdapat 5 Desa Balia Aga yang terdapat di Kabupaten Buleleng yang kerap disingkat dengan SCTPB yaitu Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Padawa dan Banyuseri. Kelima desa tersebut memiliki ciri khas dan kekentalan budayanya masing-masing.
Walau pun di tengah zaman modernisasi dan banyaknya tempat-tempat wisata kekinian, kelima desa Bali Aga tersebut tetap mempertahankan budaya dan tradisinya secara turun temurun. (TB)