Ist Desa Kekeran merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali . Diolah dari website resmi Desa Kekeran, ter...
Ist |
Desa
Kekeran merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung, Bali. Diolah dari
website resmi Desa Kekeran, terkait keberadaan Desa Kekeran termuat dalam
sebuah lontar yang bernama Pasupati Tattwa. Dalam lontar dikisahkan bahwa dulu
Bali adalah pulau yang sunyi dan penuh hutan belantara. Saat itu ada seorang
raksasa atau detya bernama Mayasura yang tinggal di sebuah hutan bersama para
abdinya.
Perilaku
Mayasura ini sangat jahat yakni membunuh semua yang datang ke hutan baik
manusia maupun binatang. Ia juga menebang kayu besar lalu membakarnya. Karena
perilakunya itu, maka turunlah Sang Hyang Pasupati, sebagai penyelamat alam dan
seisinya dan menuju hutan yang ditempati oleh Mayasura.
Terjadilah
pertempuran hebat di tempat tersebut dan akhirnya Mayasura ditaklukkan. Oleh
Sang Hyang Pasupati, hutan tersebut diberi nama Alas Kekeran yang memiliki
arti hutan yang angker dan gaib.
Sang
Hyang Pasupati juga membuat kepalan tanah berwujud Lingga, yang nantinya
menjadi Purusada di Desa Kapal. Dari tempat itu Beliau menancapkan pohon dadap atau
kayu sakti yang natinya menjadi cikal bakal Pura Dalem Naga Bhumi. Luas hutan
Kekeran itu kemudian diukur oleh Sang Hyang Pasupati dengan ukuran hasta
(tangan), depa (bentangan tangan), tapakan (tapak kaki) dan lampah (ukuran langkah).
Sementara
itu, orang-orang yang mati yang dibunuh oleh Mayasura dan yang mati dalam
perang, dikutuk menjadi roh-roh halus (demak), jin, setan, memedi. Mereka
kemudian menjadi penunggu tempat itu, serta tinggal di pinggir hutan, yang
berbataskan sungai, tebing dan sejenisnya, seakan-akan sebagai penjaga wilayah
hutan Kekeran. Hal itu terjadi pada tahun “Surya Bhumi Hasti”, tahun
811 Saka/889 Masehi. Selanjutnya, Sang Hyang Pasupati kembali ke Jawa dan
menuju Gunung Sumeru.
Sedangkan
dalam Prasasti Dalem Mataram (Tambra Prasasti), ada juga disebutkan bahwa dulu pulau
Bali yang sunyi senyap, keadaan tidak menentu, belum adanya adat istiadat,
hukum rimba masih berlaku (Matsya Nyaya), manusia masih hidup berpindah-pindah
(nomaden. Kemudian datanglah para pemuka dari Jawa, termasuk para undagi
(arsitek) untuk mendirikan rumah, tempat suci. Salah seorang dari pemuka itu
bernama Dalem Mataram, yang akhirnya meninggal. Peristiwa ini konon berkaitan
dengan pendirian Pura Dalem Mataram.
Setelah
kerajaan Bali Kuna ditaklukkan oleh Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada
dengan para Arya, kekuasaan di Bali pun dipegang oleh keturunan Danghyang Kapakisan,
yakni Sri Kresna Kapakisan. Demikian juga para Arya Jawa diberikan hak
kekuasaan di masing-masing daerah.
Entah
berselang beberapa lama, datanglah orang-orang ke hutan Kekeran, untuk tinggal
di tempat itu. Orang-orang tersebut seperti Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Kebayan,
Ki Tohjiwa, Ki Agung Kapasekan, Ki Panataran (keturunan Arya Wang Bang
Pinatih), Ki Kubakal, Ki Kadangkan, dan Ngukuhin. Setelah menetap di sana,
orang-orang tersebut membangun pakraman dan menjadi Desa Kekeran serta
mendirikan beberapa tempat pemujaan.
Dalam
perjalanan sejarah, Desa Kekeran pernah berada dibawah kekuasaan Kaba-Kaba yang
dipimpin oleh Arya Pudhak (Arya Belog). Tiada berselang lama Desa kekeran
direbut dan dikuasai oleh Arya Kenceng, penguasa Tabanan (Silasana). Oleh
Arya Kenceng, Desa Kekeran kemudian diserahkan kepada I Gusti Ngurah Sila Penek
atau dengan gelar I Gusti Ngurah Batutumpeng. I Gusti Ngurah Batutumpeng juga
dikenal dengan nama I Gusti Ngurah Kekeran. Beliau inilah yang menjadi
penguasa, memimpin di desa Kekeran.
Pada
masa pemerintahan beliau, Desa Kekeran aman sejahtra, pembangunan dapat
berjalan lancar, terutama pendirian kahyangan, pertanian dan tata letak rumah
yang mengacu pada aturan Kosala Kosali. Beliau dihormati, disegani oleh
bawahannya, sehingga tidak ada gangguan, rakyat hidup senang dan bahagia lahir
bathin.
Selanjutnya,
Kerajaan Mengwi di bawah pimpinan I Gusti Agung Putu dengan gelar I Gusti Agung
Madhe Agung, yang merupakan raja pertama Kerajaan Mengwi melakukan perluasan daerah
kekuasaan. Beliau ingin menguasai Desa Kekeran yang diperintah oleh I Gusti
Ngurah Batutumpeng. Peperangan pun tak dapat dielakkan.
Awalnya
I Gusti Agung Putu dapat dikalahkan dan ditinggalkan di lokasi peperangan dalam
keadaan pingsan. Menjelang malam, datanglah Ki Kedwa yang merupakan keturunan Arya
Kenceng ke medan laga. Ki Kedwa melihat I Gusti Agung Putu dalam keadaan
pingsan.
Ki
Kedwa membantunya dengan menutupi badan beliau dengan daun liligundi. Ketika I
Gusti Agung Putu siuman, dititipkanlah sebilah keris bernama Ki Panglipur kepada
Ki Kedwa. Di sinilah beliau berpesan agar keris itu disimpan dan dijaga dengan
baik. Jika tidak dirinya yang datang untuk mengambil keris itu, hendaknya
jangan diberikan.
Esok
paginya ada berita bahwa I Gusti Agung Putu masih hidup. I Gusti Ngurah
Batutumpeng memerintahkan kepada pasukannya, agar I Gusti Agung Putu tidak dibunuh
karena masih ada hubungan sepupu dari garis perempuan. Dimintalah agar diserahkan
kepada Raja Tabanan sebagai tawanan.
Pada
suatu hari datanglah I Gusti Bebalang penguasa Marga (Wratmaradesa), menghadap
raja Tabanan. Ketika itu dilihatlah I Gusti Agung Putu ada di tempat itu, dan
penguasa Marga memohon kepada raja Tabanan agar memberikan I Gusti Agung Putu
untuk diajak ke Marga.
Dari
Marga beliau memohon anugrah Hyang di Gunung Pangelengan (Gunung Mangu). Dengan
kekhusyukan samadhinya, beliau mendapat anugerah Hyangning Mangu Parwata.
Sekembalinya dari Gunung Mangu, beliau menuju ke Marga. Lalu merabas hutan di
selatan Marga, dengan pengikutnya yang merupakan orang-orang pilihan sebanyak
200 orang. Lalu menetap di sana dan desa itu disebut Bala Hayu (Belayu). Beliau
tinggal bersama dengan I Gusti Ngurah Celuk.
Ketika
itu datanglah I Gusti Ngurah Tangeb menghadap I Gusti Agung Putu. Lalu I Gusti
Agung Putu memerintahkan agar meminta keris Ki Panglipur kepada Ki Kedwa yang
tinggal di Basangtamiang Kapal. Dalam perjalanannya itu Ki Kedwa tidak
memberikan keris yang diminta, karena ada pesan I Gusti Agung Putu agar tidak
memberikan keris itu kepada orang lain. Maka I Gusti Ngurah Tangeb pulang
dengan tangan hampa dan menyampaikan hal itu kepada junjungannya. I Gusti Agung
Putu lupa dengan pesannya. Beliau marah dan ingin menyerang Ki Kedwa.
Namun
Ki Kedwa, sudah memaklumi hal itu, lalu berangkat menuju Belayu dengan membawa
Ki Panglipur. Bertemulah beliau di pinggir Sungai Sungi. Ki Kedwa menghormat
dengan penuh rasa bakti dan menyampaikan permasalahannya. I Gusti Agung Putu
baru teringat dengan pesannya. Beliau juga berjanji agar semua keturunannya, harus
mengingat jasanya Ki Kedwa.
I
Gusti Agung Putu kemudian pindah dari Belayu menuju Ganter dan dari Ganter
menuju Bekak, nantinya barulah ke Puri yang sekarang. Dengan kedatangan beliau
dan sudah percaya diri atas anugrah Hyangning Pucak Mangu, maka diseranglah Ki
Gusti Ngurah Batutumpeng. Ki Gusti Ngurah Batutumpeng mengalami kekalahan dan
wafat dalam peperangan.
Sanak
saudara dan para pengikutnya yang tidak mau tunduk kepada I Gusti Agung Putu,
melarikan diri. Ada yang menuju Krambitan (Rabitantaka), gunung Pucuk Biyu
(Penebel), ke Geluntung Marga, ada yang ke Gulingan, Penarungan dan ada juga
yang kembali ke Desa Kekeran. Kekalahan I Gusti Ngurah Batutumpeng, terjadi
pada tahun 1732 Masehi.
Sementara
itu, dalam Babad Ki Bondan Pangasih disebutkan, Ki Bondan Pangasih mendapat
tugas dari Dalem untuk menyerang I Gusti Ngurah Batutumpeng. Ketika
penyerangannya tersebut, ternyata wilayah Kekeran telah dikuasai oleh I Gusti
Agung Putu. Maka dari itu para pasukannya ada yang menetap di Kekeran. Sehingga
desa Kekeran mulai tahun 1732 Masehi, telah menjadi daerah taklukan Raja
Mengwi.
Dalam
perkembangan Desa Kekeran pernah berdiri sendiri mulai dari tahun 1910 sampai
dengan 1945 di bawah pimpinan I Gusti Putu Natih. Dari tahun 1945 sampai dengan
1965, di bawah pimpinan Si Putu Raka. Namun tahun 1965 saat adanya G30S, Desa
Kekeran bergabung dengan Desa Mengwitani. Tahun 1994 terjadilah pemekaran,
keprebekelan kembali seperti semula, yakni menjadi Desa Kekeran. (TB)