Pixabay.com Umat Hindu di Bali merayakan dua hari raya sekaligus pada Selasa, 2 Agustus 2022. Kedua hari raya ini yakni Anggara Kasih Tambir...
Pixabay.com |
Umat Hindu di Bali merayakan dua hari raya sekaligus pada Selasa, 2 Agustus 2022. Kedua hari raya ini yakni Anggara Kasih Tambir dan Kajeng Kliwon.
Lalu apa makna, banten, dan bagaimana pelaksanaannya? Berikut pembahasannya.
Anggara Kasih atau biasa disebut dengan Anggar Kasih dirayakan setiap sapta wara atau hari Selasa (Anggara) dengan panca wara Kliwon. Selama enam bulan atau 210 hari, umat Hindu merayakan enam kali hari raya ini yakni Anggara Kasih Kulantir, Anggara Kasih Julungwangi, Anggara Kasih Medangsia, Anggara Kasih Tambir, Anggara Kasih Prangbakat, dan Anggara Kasih Dukut.
Dalam artikel Anggara Kasih Wujud Misi Perdamaian dan Kasih Sayang yang dimuat di Majalah Warta Hindu Dharma Nomor 429 November 2002 disebutkan Anggara memiliki terjemahan bebas mengulurkan atau memberikan, dan kasih berarti damai atau cinta tak bersyarat. “Anggara kasih berarti mengulurkan persahabatan atau perdamaian. Anggara kasih secara umum bisa juga disebut dengan ‘hari kasih sayanag’,” tulisnya.
Dituliskan pula, untuk yang sedang menjalin kasih atau pertunangan, oleh orang tuanya akan dibuatkan Sesayut Jati Smara, Sesayut Pengipuk Smara, dan Sesayut Tulus Dadi. Tujuannya agar pertunangan mereka bisa sampai kejenjang perkawinan. Dahulu, upacara ini sangat sering dilaksanakan di Bali Utara dan Bali Barat, namun saat ini upacara ini dijadikan satu saat pelaksanaan perkawinan.
Sementara itu, dalam Lontar Sundarigama disebutkan, nahanta waneh, rengen denta, Anggara Keliyon ngarania Anggara Kasih, pekenania pengasianing raga sarira. Sadekala samana yogia wang amugpug angelakat sealaning sarira, wigenaning awak, dena ayoga wang apan ika yoganira, Betara Ludra, merelina alaning jagat teraya, pakertinia aturakna wangi-wangi, puspa wangi, asep astanggi muang tirta gocara.
Petikan ini memiliki arti, ketika Anggara bertemu Kliwon disebut sebagai Anggara Kasih. Anggara Kasih ini merupakan hari untuk mewujudkan cinta kasih terhadap dirinya dan menunjukkan rasa kasih pada semua makhluk. Saat Anggara Kasih ini sepatutnya umat melakukan peleburan dosa, dan merawat dari diri segala kecemaran, utamanya kecemaran pikiran yang melekat pada diri.
Untuk melakukan peleburan dosa ini dilaksanakan dengan jalan melakukan renungan suci. Karena dalam keadaan yang demikian, Sang Hyang Ludra melakukan yoga, yang bertujuan memusnahkan kecemaran dunia. Sarana upakara yang dipersembahkan yakni wangi-wangi, dupa astangi, dan dilanjutkan dengan matirtha pembersihan.
Sejalan dengan itu, dalam website Babad Bali juga disebutkan, Anggara Kasih merupakan payogan Ida Sang Hyang Ludra, untuk membasmi segala kekotoran (leteh-letuh) di bumi, termasuk kekotoran tubuh, lahir dan batin. Sarana upakara yang dipersembahkan yaitu canang reresik, canang puspa wangi-wangian, menyan astanggi dan asap harum dihaturkan ke hadapan Dewa Sang Hyang Ludra, untuk mohon belas kasihnya melebur dan membersihkan segala kekotoran dan kenistaan. Usai melakukan persembahyangan dilanjutkan dengan memercikkan tirta gocara ke diri kita.
Sementara itu, Kajeng Kliwon merupakan hari raya Hindu yang dilaksanakan setiap 15 hari sekali berdasarkan perhitungan kalender Bali. Hari Raya ini merupakan pertemuan antara Tri Wara yakni Kajeng dengan Pancawara yakni Kliwon. Biasanya umat Hindu merayakannya dengan melakukan persembahyangan di merajan masing-masing.
I Gede Sutarya dalam Bangli Explore Pariwisata Budaya, Agama dan Spiritual mengatakan saat Kajeng Kliwon, umat biasanya mengaturkan tipat dampulan (ketupat besar), tipat kelanan (tipat yang lebih kecil berjumlah enam buah) dan ada juga yang mengaturkan tipat gong (ketupat yang bentuknya seperti gong). Semua katupat ini dilengkapi dengan taluh bakasem (telur asin). “Semua upacara tersebut dipersembahkan kepada panunggun karang (penjaga pakarangan),” katanya.
Sutarya juga menuliskan, saat Kajeng kliwon, umat biasanya melakukan upacara bhuta yadnya. Hal dikarenakan orang Bali percaya jika Kajeng Kliwon merupakan hari untuk bhuta kala. Dahulu, saat Kajeng Kliwon biasanya masyarakat takut ke luar rumah sebab mereka tak jarang menemukan makhluk-makhluk gaib. "Mereka masih percaya bahwa jika ingin melihat mahluk halus, berjalanlah malam hari tepat Kajeng Kliwon," tulisnya.
Selain itu, sesuai dengan filsafat Hindu di Bali, Kajeng Kliwon memang bermakna waktu kematian. Kajeng Kliwon adalah perpaduan hari yang berada di pertengahan, Kajeng berada di tengah dan Kliwon juga berada di tengah. “Tengah merupakan posisi Dewa Shiwa, yang merupakan dewa pelebur. Sakti dari dewa ini adalah Dewi Durga yang merupakan dewi kematian. Jadi, posisi tengah adalah posisi kematian menurut kepercayaan Hindu di Bali. Sebab, kematian, menurut umat Hindu, bukanlah akhir tetapi tengah perjalanan menuju kehidupan yang lain,” imbuhnya.
Menurut Sutarya, saat inilah para bhuta kala akan mengganggu, menarik sang roh untuk lahir kembali bahkan bisa menariknya lebih bawah daripada itu. Karena itu, umat diajarkan untuk waspada saat hari-hari seperti ini.
Dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Arsitektur Unwar, I Wayan Runa dalam artikelnya Pengaruh Budaya (Agenda Kegiatan) Masyarakat, Dalam Pengungkapan Sistem Desa Tenganan menyebutkan hari terpenting dari siklus tiga hari adalah hari ketiga yaitu Kajeng, dan hari terpenting dari siklus lima hari adalah hari kelima yaitu Kliwon. Kajeng dan Kliwon terjadi pada hari kalender yang sama sesetiap 3 x 5 = 15 hari. Dan Kajeng Kliwon ini juga dianggap sebagai hari terpenting dalam Kalender Tenganan.
Pada Lontar Sundarigama disebutkan Nihan taya amanah, kunang ring panca terane, semadi Bhatara Siwa, sayogia wong anadaha tirtha gocara, ngaturaken wangi ring sanggar, muang luwuring paturon maneher menganing akna cita. Wehana sasuguh ring natar umah, sanggar, ring dengen, dening sega kepel duang kepel dadi atanding, wehakna ada telung tanding, iwaknia bawang jae. Kang sinambat ring natar, Sang Kala Bucari. Ring sanggar Bhuta Bucari. Ne ring dengen, Sang Durga Bucari Ika pada wehana labaan, nangken kaliyon, kinon rumaksa umah, nimitania. Pada anemu sadia rahayu. Kunang yan kala biyantara keliyon, pakerti tunggal kayeng lagi.
Berarti, ketika Pancawara Kliwon, merupakan saat beryoganya Bhatara Siwa. Umat saat ini melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangian pada merajan, dan diatas tempat tidur. Selain itu, di halaman rumah, halaman merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, juga mempersembahkan segehan kepel sebanyak dua kepel yang dibuat dalam satu tandingan. Di setiap tempat itu, juga disuguhkan tiga tanding segehan kepel yakni di halaman merajan untuk Sang Bhuta Bhucari, di pintu keluar masuk untuk Sang Durgha Bhucari, serta di halaman rumah untuk Sang Kala Bhucari.
Lebih lanjut, dalam lontar tersebut disebutkan, kadi ring keliyon nemu atutan kewala tambahane sega warna limang warna, dadi awadah, ring dengen juga genahing caru ika, ika sanding lawang ring luur, aturane canang lenga wangi burat wangi, canang gantal, astawakna ring Durga Dewam, ne ring sor, ring Durga Bucari, Kala Bucari buta Bucari, palania ayu paripurna sira aumah, yania tan asiti mangkana I Buta Bucari, aminta nugeraha ring Bhatari Durga Dewem, mangerubadin sang maumah, angadakakan desti, aneluh anaranjana, mangawe gering sasab merana, apasang pengalah, pamunah ring sang maumah, muang sarwa Dewa kabeh, wineh kinia katadah da waduanira Sang Hyang Kala, nguniweh sewaduanire Dewi Durga, tuhunia mangkana, ayua sira alpa ring wuwus manai.
Ini berarti, sarana upakara saat Kajeng Kliwon sama dengan saat Pancawara Kliwon, namun ada tambahan berupa segehan manca warna (lima warna) lima tanding. Pada samping kori sebelah atas dihaturkan canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dan yang dipuja ialah Hyang Durga Dewi.
Menurut lontar tersebut, jika hal itu tidak dilakukan, Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon penugrahan kepada Bhatara Durga Dewi untuk mengganggu penghuni rumah, dengan jalan mengadakan gering atau penyakit dan mengundang kekuatan black magic, segala merana, mengadakan pemalsuan, yang merajalela di rumah. Hal ini akan mengakibatkan perginya para Dewata dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah untuk ditadah (disantap) oleh Sang Hyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatara Durga.
I. B. Suparta Ardhana dalam Pokok-pokok Wariga menyebutkan ada jenis Kajeng Kliwon Uwudan dan Kajeng Kliwon Enyitan. Kajeng Kliwon Uwudan merupakan hari baik untuk menghidupkan ilmu hitam atau pengiwa, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan merupakan hari baik untuk membuat sasikepan (jimat) atau sesuatu yang berkekuatan gaib. Kajeng Kliwon Uwudan ini adalah Kajeng Kliwon yang diperingati setelah Purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan dilaksanakan setelah Tilem. Juga ada Kajeng Kliwon Pamelastali yang jatuh pada Minggu Wuku Watugunung.
Sedangkan Jro Mangku I Wayan Satra sebagaimana yang dikutip dari Bali Express mengatakan saat malam Kajeng Kliwon sering dianggap sebagai hari sangkep-nya (rapatnya) Leak di Bali. “Penganut aji Pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga, dan Bhairawi. Ritual Kajeng Kliwon ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan atau uluning setra, pemuwunan,” katanya. (TB)