Istimewa Tokoh Bali dari Ubud ini mendapat penghargaan dari Presiden Republik Indonesia bertepatan dengan HUT ke-77 RI tahun 2022. Beli...
Istimewa |
Tokoh
Bali dari Ubud ini mendapat penghargaan dari Presiden Republik Indonesia
bertepatan dengan HUT ke-77 RI tahun 2022.
Beliau
adalah mendiang Tjokorde Gde Rake Soekawati dari Puri Ubud, Bali.
Beliau mendapatkan tanda kehormatan Presiden Republik Indonesia ' Satyalancana
Kepariwisataan Tahun 2022'.
Tanda
kehormatan Satyalancana Kepariwisataan Tahun 2022, diterima
mendiang Tjokorde Gde Rake Soekawati, atas jasanya di bidang pariwisata
dan budaya.
Di
mana berkat beliau, kebudayaan Bali dikenal hingga ke mancanegara, dan yang
menjadi dasar berkembangnya pariwisata nasional.
Serta
pariwisata sendiri saat ini menjadi ladang penghidupan sebagian besar
masyarakat Bali, alias lokomotif perekonomian Pulau Dewata.
Putra
Ubud ini sangat berjasa bagi pariwisata Bali, yang kini telah mendunia.
Penghargaan
ini diserahkan oleh Menparekraf Sandiaga Uno kepada perwakilan keluarga pada
Rabu, 17 Agustus 2022.
Sebelumnya,
pada 10 November 2015 lalu, Bupati Gianyar saat itu, AA Gde Agung Bharata juga
menganugerahkan penghargaan ‘Parama Bhakti Pariwisata’ kepada almarhum Tjokorda
Gde Raka Sukawati.
Beliau
adalah tokoh Puri Agung Ubud, Gianyar yang juga mantan Presiden Negara
Indonesia Timur (NIT).
Tjokorda
Gde Raka Sukawati, diberikan predikat sebagai ‘Tokoh Pelopor Impresario Seni
dan Diplomasi Kebudayaan Bali’.
Siapakah
sosok dari Tjokorda Gde Raka Sukawati ini?
Tjokorda
Gde Raka Sukawati adalah tokoh kelahiran Redite Umanis Menail, Minggu, 15
Januari 1899.
Di
balik suksesnya di dunia politik, suami dari I Gusti Agung Niang Putu Gilbert
Vincent ini adalah seniman dan diplomat kebudayaan Bali ke kancah dunia.
Prof
Made Bandem mengatakan, semasa hidupnya, Tjokorda Gde Raka Sukawati sempat
menjadi promotor seni budaya, dengan membawa misi kesenian dari Belaluan untuk
pentas di Festival Pasar Gambir, Batavia (Jakarta) 1929.
Para
seniman yang dilibatkan Tjokorda Gde Raka Sukawati kala itu, antara lain, I
Marya (penari Kebyar), Ni Gusti Made Rai (penari Legong), Ni Gusti Putu Adi
(penari Legong), I Gusti Alit Oka (penabuh), I Made Regog (komposer, penabuh)
dan I Gejor Kelambu (penyanyi).
Kemudian
ia memimpin kesenian Bali mengadakan pementasan dan pameran dalam ‘Paris
Colonial Exposition (Exposition Coloniale Internationale)’ di Paris, Prancis
tahun 1931.
Misi
kesenian ke Paris kala itu melibatkan 51 seniman tari dan tabuh Bali asal Desa
Peliatan (Kecamatan Ubud), desa Ubud (Kecamatan Ubud), dan beberapa desa
lainnya di Bali. Termasuk di antara mereka adalah AA Mandra, I Ketut Rindha,
Tjokorda Oka Tublen, Tjokorda Gde Rai Sayan, Dewa Gde Raka, Tjokorda Anom, Jero
Tjandra, dan Ni Rimpeg.
Beberapa
seniman lukis dan patung, serta perajin juga diajak memamerkan karya-karya di
Anjungan Hindia Belanda, yang berdiri megah di Bois de Vincennes, Paris Timur.
Misi
kesenian kala itu juga menampilkan dramatari Calonarang dan Legong Keraton.
Pementasan dan pameran misi kesenian Bali berlangsung selama 7 bulan, sejak 6
Mei 1931 hingga 6 November 1931.
Tjok
Raka Sukawati sendiri juga selaku penasihat dalam perancangan dan pembangunan
Anjungan Hindia Belanda, yang menampilkan kombinasi unik antara arsitektur
Barat dan keberagaman arsitektur pulau-pulau Hindia Belanda.
Kemahirannya
dalam berdiplomasi budaya pula yang membawa Tjok Raka Sukawati berhasil
membujuk Walter Spies, pelukis kondang Jerman, untuk datang ke Ubud tahun 1925
dan 1927.
Walter
Spies selanjutnya tinggal menetap di Ubud.
Laksana
Manut Sasana adalah buku biografi beliau yang diluncurkan Januari 2022 lalu.
Peluncuran
buku itu dilakukan sekaligus untuk memperingati hari kelahiran Tjokorde Gde
Rake Soekawati yang ke-123.
Penyusunan
buku itu digagas Yayasan Janahita Mandala Ubud berkolaborasi dengan berbagai
pihak untuk mendekatkan nilai-nilai kepeloporan almarhum kepada generasi masa
depan.
Penyusunannya
pun melibatkan beberapa penulis dan peneliti serta melalui tahapan focus group
discussion.
Tjok
Raka Sukawati meninggal tahun 1967.
Sukawati
adalah satu-satunya Presiden Negara Indonesia Timur atau NIT.
Ia
menjabat dari tahun 1946 hingga pembubaran Negara Indonesia Timur pada 1950.
Ia
memiliki dua orang istri, yang pertama adalah orang Bali yaitu, Gusti Agung
Niang Putu yang memberikan seorang putra yang bernama Tjokorda Ngurah Wim
Sukawati.
Pada
tahun 1933, ia menikahi seorang perempuan Prancis bernama Gilbert Vincent, yang
memberikannya dua orang anak
NIT
adalah negara federal terbesar di Indonesia.
Dikutip
dari tirto.id NIT
dibentuk setelah Konferensi Malino 16 hingga 22 Juli 1946 dan Koferensi
Denpasar dari 7 hingga 24 Desember 1946.
Tujuan
pertemuan itu tak lain adalah membahas pembangunan Negara tersendiri, seperti
ditawarkan oleh Belanda.
Semula
negara ini akan dinamai negara Timur Besar, namun diganti menjadi Negara
Indonesia Timur pada 27 Desember 1946.
NIT
terdiri dari 13 daerah otonomi yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan
Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores,
Sumba, Timor dan Kepulauan, Maluku Selatan dan Maluku Utara.
Berdasarkan
Konferensi Denpasar, wilayah NIT meliputi keresidenan yang termaktub dalam
Staatsblad 1938 nomor 68 jo Staatsblad nomor 264. Keresidenan Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Bali, Lombok dan Maluku. Papua tidak di masukkan dalam
NIT.
Pejabat
pemerintah Belanda memiliki pengaruh pada kebijakan besar dalam NIT. Di mana
ada orang Belanda, Mr Hamelink, yang menjadi Menteri Keuangan NIT.
Setelah
NIT berdiri, 10 Januari 1947, kabinet pertama NIT berdiri.
Tjokorda
Gde Sukawati Raka adalah yang pertama dan satu-satunya presiden negara ini.
Nadjamudin
Daeng Malewa dari Makassar menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri
Perekonomian.
Ketika
Agresi Militer Belanda Pertama dilancarkan NIT termasuk pendukung. Padahal
Agresi tersebut adalah pelanggaran pernjanjian Renville.
Kabinet
NIT berganti lagi pada 10 Oktober 1947.
Kali
ini dokter S.J. Warrouw menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Kesehatan.
Dalam
kabinet ini Christian Robert Soumokil menjadi Menteri Kehakiman.
Elvianus
Katoppo, ayah dari Aristides Katoppo, pernah menjadi Menteri Pendidikan dan
Agama NIT.
Setelah
Warrouw tidak jadi Perdana Menteri lagi, posisinya digantikan Ida Anak Agung
Gde Agung.
Dua
tahun ia mengisi jabatan itu sejak 15 Desember 1947.
Ketika
Anak Agung menjadi Perdana Menteri, hubungan dengan Republik Indonesia mulai
dijalin.
Banyak
pihak melihat Ida Anak Agung Gde Agung adalah seorang politisi mampu dan
administrator. Dia berusaha menerapkan politik “Politik Sintesis” atau
perpaduan dengan mendekati Partai Republik.
Partai
Republik kemudian mengakui Indonesia Timur sebagai negara di tahun 1948.
Aksi
militer Belanda Kedua pada 19 Desember 1948, segera mendapat tentangan keras
dari Pemerintah NIT.
Anak
Agung, yang didampingi Menteri Kehakiman Chris Soumokil, lalu menghadap
Presiden NIT Sukawati.
Dia
mewakili kabinet yang dipimpinnya memaklumkan pembubaran kabinet yang
dipimpinnya.
Sukawati
menerima pengunduran diri tersebut.
Sorenya,
Anak Agung juga bicara di sebuah stasiun radio di Makassar soal pengunduran
dirinya.
Tak
hanya Anak Agung, Perdana Menteri Adil Poeradiredja dari Negara Pasundan juga
mengundurkan diri dari jabatannya, dengan alasan yang sama, karena menolak
Agresi Militer 19 Desember 1949.
Namun,
akhirnya Anak Agung ditunjuk lagi menjadi Perdana Menteri.
Jabatan
itu diisinya sejak 12 Januari 1949 hingga 27 Desember 1949.
Anak
Agung lalu mundur lagi dari jabatan Perdana Menterinya karena ditunjuk sebagai
Menteri Urusan Dalam Negeri Republik Indonesia Serikat (RIS) jelang 26 Desember
1949. Penggantinya J.E. Tatengkeng.
Hanya
sampai Maret 1950 saja Tatengkeng memimpin kabinet peralihan tersebut. Dia lalu
digantikan Diapari.
Beberapa
menteri dalam kabinet Diapari masih ingin mempertahankan NIT.
Sementara
demonstrasi agar Indonesia Timur bergabung dengan Republik Indonesia setelah 29
anggota parlemen NIT pro Republik mengajukan mosi pembubaran NIT.
Meski
mosinya ditolak, demonstrasi besar terjadi pada 17 Maret 1950.
Arnold
Mononutu salah satu pimpinan di parlemen NIT.
Belakangan,
dia pun jadi Menteri Penerangan RIS.
Negara
Indonesia Timur didirikan untuk menyaingi dan memaksa Republik Indonesia untuk
menerima bentuk negara federasi; dengan tujuan mengecilkan wilayah Republik
Indonesia sehingga hanya menjadi salah satu negara bagian dari Republik
Indonesia Serikat.
Negara
Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1950.
Terkait
Tanda kehormatan Satyalancana Kepariwisataan Tahun 2022, Tjokorda Gede
Putra Asmara Sukawati, selaku cucu mendiang Tjokorde Gde Rake Soekawati,
Rabu 17 Agustus 2022 mengatakan, ini merupakan bentuk kepedulian negara
terhadap upaya anak bangsa dalam membangun negeri.
"Merupakan
sebuah anugerah yang sangat kami syukuri. Penghargaan ini merupakan bentuk
perhatian, dan pengakuan Pemerintah Republik Indonesia atas beragam kiprah dan
capaian almarhum selama hidupnya. Khususnya di bidang pariwisata dan
kebudayaan," kata Cok Asmara.
Cok
Asmara mewakili keluarga besarnya, berterima kasih atas dukungan semua pihak,
sehingga mendiang Tjokorde Gde Rake Soekawati, bisa memeroleh tanda
kehormatan ini. (TB)