Puranama ketiga dirayakan pada bulan ketiga menurut sistem kalender Bali. Dimana, purnama ini dirayakan pada puncak bulan bulat penuh atau s...
Puranama ketiga dirayakan pada bulan ketiga menurut sistem kalender Bali. Dimana, purnama ini dirayakan pada puncak bulan bulat penuh atau saat sukla paksa.
Bagaimanakah makna dari purnama ketiga ini?
Sebagaimana tilem, purnama juga dirayakan setiap 30 hari sekali tepatnya pada pananggal ke-15. Penanggal ini bermakna suatu perkembangan menuju ke arah kebaikan dan berpuncak saat purnama. Dan kebalikan dari tilem, saat terjadinya purnama, air laut akan surut.
Dalam tradisi masyarakat Bali, purnama selalu dirayakan dengan istimewa. Masyarakat akan melakukan persembahyangan ke pura dengan membawa sesajen baik banten maupun canang sari untuk dihaturkan pada pelinggih.
Terkait pelaksanaan purnama ini, dalam Lontar Sundarigama disebutkan, mwah hana pareresiknira Sang Hyang Rwa Bhineda, makadi Sang Hyang Surya Candra, yatika nengken purnama mwang tilem, ring purnama Sang Hyang Ulan mayoga, yan ring tilem Sang Hyang Surya Mayoga. Samana ika sang purohita, tkeng janma pada sakawanganya, wnang mahening ajnana, aturakna wangi-wangi, canang nyasa maring sarwa dewa, pamalakunya, ring sanggat parhyangan, laju matirta gocara, puspa wangi.
Artinya ada lagi hari penyucian diri bagi Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang juga disebut Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu saat tilem dan purnama. Saat purnama adalah payogan Sang Hyang Wulan (Candra), sedangkan saat tilem Sang Hyang Surya yang beryoga. Purnama juga merupakan hari penyucian diri lahir batin. Oleh karena itu, semua orang wajib melakukan penyucian diri secara lahir batin dengan mempersembahkan sesajen berupa canang wangi-wangi, canang yasa kepada para dewa, dan pemujaan dilakukan di Sanggah dan Parahyangan, yang kemudian dilanjutkan dengan memohon air suci.
Ida Bagus Rai, dalam Hari Purnama-Tilem: Tinjauan dari Segi Filsafat, Etika dan Upacara yang dimuat dalam Majalah Widyasrama (Majalah Ilmiah Universitas Dwijendra Denpasar, Agustus 2013) menuliskan saat purnama ini merupakan hari baik untuk melaksanakan upacara dewa yadnya, rsi yadnya, pitra yadnya maupun manusa yadnya. Pada hari ini juga hari yang baik untuk melakukan tapa, brata, yoga, samadhi. Juga untuk memperdalam ajaran agama dengan jalan membaca kitab suci, karya sastra, maupun dharmatula.
Rai menuliskan, secara fisik serta simbolik saat purnama masyarakat melakukan penyucian dengan melukat, sementara secara kongkrit dilakukan dengan perbuatan yang tulus serta suci dalam segala hal yang bersifat pengabdian dan bakti untuk mencapai kesejahteraan dan hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Seseorang yang melakukan perbuatan baik pada saat purnama, perbuatannya akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat. Saat purnama umat Hindu juga dilarang melakukan yang dilarang agama seperti melakukan hubungan suami istri atau sanggama. Bila ketentuan tersebut dilanggar maka akan dapat berkibat buruk pada watak dan tabiat anak yang akan lahir dan hubungan badan tersebut. “Seorang yogi/ahli yoga pernah mengatakan, bahwa bila seseorang melakukan hubungan intim saat purnama maka ojas (sumber kecerdasan, red) yang terdapat di dalam otak atau kepalanya akan ditarik keluar oleh kekuatan alam sehingga mengakibatkan seseorang bisa kehilangan kecerdasannya,” tulis Rai.
BACA JUGA: Saat Tilem Pantang Melakukan Hubungan Suami-Istri
Sementara IBG Agastia dalam Siwa Smreti menuliskan bulan atau candra biasanya digunakan untuk menjelaskan kehadiran Sang Pencipta. Seperti dalam kakawin Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa menuliskan; sasi wimba haneng gatha mesi banyu; ndan asing suci nirmala mesi wulan; iwa mangkana rakwa kiteng kadadin; ring angambeki yoga kiteng sakala. “Di sini Mpu Kanwa menegaskan bahwa bayangan bulan terdapat di dalam setiap tempayan yang berisi air yang bening dan suci; dan seperti itulah Hyang Siwa ada pada setiap orang yang memiliki pikiran yang suci, setiap orang yang melaksanakan yoga yang benar,” tulis Agatia.
Danghyang Nirarta juga melukiskan kehadiran Sang Pencipta lewat bulan dalam kakawin Dharmasunya. Kadi sasadara wimba ning dyun mesi jala suci; sahana hana nikang dyun byakta teka kinahanan; wulantana sira waswas tunggal ring ghata sawiji; dinele ri ruhur anghin tunggal hyang sasi sumeno. Ini bermakna seperti bayangan bulan pada tempayan yang berisi air yang suci dan jernih, semua tempayan tersebut ditempati-Nya. Pada setiap tempayan itu ada satu bayangan bulan, bila ada seribu tempayan, maka ada seribu bayangan bulan. Namun lihatlah ke atas, sejatinya hanya ada satu bulan, yang bersinar cemerlang.
Saat purnama, juga merupakan hari yang baik untuk melakukan dana punia atau bersedekah. Dalam Sarasamuscaya, sloka 262 disebutkan; ekenamcena dharmarthah kartavyo bhutimicchata, ekenamcena kamartha ekamamcam vivir ddhayet. Artinya, harta kekayaan hendaknya dibagi tiga, masing-masing 33% setiap bagian. Satu bagian untuk mencapai dharma (beryadnya atau berdana punia), satu bagian untuk memenuhi kama (sandang, pangan, papan, hiburan dan kesehatan), dan satu bagian lagi untuk tabungan (investasi) atau modal usaha untuk dikembangkan lagi.
Terkait pahala yang diperoleh dari berdana punia dalam Sarasamuccaya sloka 169 dikatakan; na mata na pita kincit kasyacit pratipadyate, danapathyodano jantuh svakar-maphalamacnute. Artinya, barang siapa yang memberikan dana punia maka ia sendirilah yang akan menikmati buah (pahala) dan kebajikannya itu. (TB)