Sumber Foto: id.wikipedia.org Pura Lempuyang Luhur menjadi terkenal ketika banyak wisatawan yang berfoto di candi bentar pura dengan lata...
Sumber Foto: id.wikipedia.org |
Pura
Lempuyang Luhur menjadi terkenal ketika banyak wisatawan yang berfoto di candi
bentar pura dengan latar belakang Gunung Agung. Foto tersebut pun terlihat
sangat indah dan gagah. Karena keindahannya tersebut banyak yang menyebut
sebagai “The Gate Of Heaven” atau gerbang surga. Pura Lempuyang Luhur ini
berada di Banjar Purwa Ayu, Desa Tribuana, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali.
Ada
berapa versi terkait dengan sejarah dari pura ini. Kata Lempuyang berasal dari
kata “lempu” dan “hyang”. Lempu artinya sinar sedangkan hyang merupakan sebutan
untuk Tuhan. Sehingga Pura Lempuyang memiliki arti sinar Tuhan yang terang benderang.
Karena memang Pura Lempuyang ini letaknya di sebelah timur Pulau Bali, dimana
merupakan tempat awalnya matahari terbit.
Ada
pula yang mengatakan bahwa kata Lempuyang berasal dari jenis tanaman yang
digunakan untuk bahan memasak. Yang dikaitkan dengan nama-nama Banjar atau
Dusun yang ada di sekitar Pura Lempuyang. Selain itu ada yang mengatakan kata
Lempuyang berasal dari kata “empu” yang artinya menjaga. Hal tersebut
berdasarkan sebuah sumber yang menyebutkan bahwa Hyang Pasupati mengutus ketiga
putranya untuk menjaga Bali Dwipa dari segala guncangan dan bencana alam.
Dilansir
dari www.nativeindonesia.com,
dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, menyatakan bahwa Sang Hyang
Parameswara atau Sang Hyang Pasupati membawa gunung-gunung yang ada di Bali
dari Jambudwipa yaitu India yang bernama Gunung Mahameru.
Potongan
Gunung Mahameru tersebut kemudian dipecah menjadi tiga buah bagian yang cukup
besar, dan beberapa bagian dengan ukuran kecil. Dimana bagian tengah menjadi
Gunung Batur dan Gunung Rinjani. Sedangkan untuk puncak gunungnya menjadi
Gunung Agung, yang merupakan gunung tertinggi yang ada di Pulau Bali.
Sedangkan
untuk pecahan yang ukurannya kecil menjadi deretan gunung-gunung yang saling
terhubung seperti Gunung Pengalengan, Beratan, Nagaloka, Pulaki, Puncak
Sangkur, Bukit Rangda, Trate Bang, Padang Dawa, Andakasa, Seraya, Uluwatu, Tapsai,
dan Gunung Lempuyang.
Selanjutnya,
Sang Hyang Parameswara atau Hyang Pasupati menugaskan putra beliau yang bernama
Sang Hyang Agni Jaya Sakti untuk turun ke Bali dengan tujuan menjaga
kesejahteraan Pulau Bali. Sang Hyang Agni Jaya Sakti kemudian beristana di Pura
Luhur Lempuyang beserta beberapa dewa lainnya ikut turun ke Bali. Maka tak
heran jika Pura Lempuyang menjadi begitu penting di kalangan umat Hindu.
Sedangkan
berdasarkan Lontar Markandeya Purana, Pura Lempuyang didirikan oleh Rsi
Markandeya sekitar abad ke-8 Masehi sebagai tempat persembahyangan sekaligus
menyebarkan ajaran agama Hindu.
Sementara
itu, dilansir dari Babadbali.com, dalam Babad Pasek juga termuat tentang Pura
Lempuyang Luhur. Dalam lontar tersebut dikatakan lama kelamaan berumur dunia
ini 70 tahun, pada hari Sukra Keliwon, wara Tolu, sasih Kalima (sekitar bulan
November) tanggal ping 5, rah panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar
sambung menyambung, gempa bumi, selama 2 bulan, tahun isaka 113 (tahun 191 Masehi),
lagi meletus gunung Agung tersebut.
Keluar
Bhatara Putrajaya, ikut adik beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih, dengan
bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya Bhatari Dewi Danuh, berparhyangan di Hulun
Danu sedang Bhatara Gnijaya berparhyangan di gunung Lempuyang. Tatkala
berangkat Bhatara Tiga diperintahkan oleh Bhatara Pasupati untuk datang ke
pulau Bali. Hal ini dilakukan agar Bali menjadi stabil. Lalu berangkatlah
Bhatara Tiga ke Bali dengan dibungkus menggunakan kepala gading oleh Bhatara Pasupati
dan dengan kekuatan gaib sampai di Bali.
Sementara
itu, dalam Prasasti Desa Sading disebutkan bahwa gunung Lempuyang juga disebut
Andri Karang yang bermakna gunung Karang. Di sana merupakan tempat Raja Jayasakti
melakukan Samadhi yang akhirnya dalam sejarah perjalannya lebih dikenal dengan
sebutan Karangasem. Mengenai gunung Lempuyang ini juga erat kaitannya dengan
datangnya Raja Jayasakti di Bali, yang dikisahkan bahwa sekitar tahun isaka
1072 (tahun 1150 Masehi) pada sasih Kasanga, tanggal ping 12, bertepatan dengan
bulan separoh terang, wara Julungpujut, Sri Maharaja Jayasakti menyelenggarakan
rapat dengan para pimpinan perang utama Rakryan Apatih dan dibawah Rakryan.
Pada
suatu rapat besar, raja berkehendak pergi ke pulau Bali bersama degnan permaisurinya,
dan beliau berkeinginan beristana di Ardri Karang. Beliau datang ke bali karena
ada perintah dari ayah beliau yaitu Sanghyang Guru, dengan tujuan untuk membuat
dharma di gunung Lempuyang sebagai penyelamat pulau Bali, disertai oleh segenap
Pandita Siwa dan Budha, dan Uga Mantri Agung.
Disanalah
Raja Cri Jayasakti dijadikan raja oleh masyarakat. Tidak senanglah beliau
dijadikan raja, oleh karena beliau bertingkah laku baik dan tidak digoyahkan
oleh pikiran tamak, loba, ataupun pikiran pamerih didalam masyarakat, segenap
abdinya sangat menghormati, sebab beliau raja yg berhasil dan sempurna dalam
disiplin bathinnya.
Adapun
selaku abdinya jumlahnya tidak terhitung banyaknya, dan mantrinya saja yang
menghitung, mengatur yaitu berjumlah 400 orang termasuk pasukan dari Jawa.
Beliau juga disebut Maharaja Bima ialah Sri Bayu atau Sri Jaya atau Sri
Gnijayacakti.
Dari
sumber tersebut dapat diketahui berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini erat
kaitannya dengan tibanya Bhatara Tiga di Bali. Beliau tiba di di Bali pada hari
Jumat Kliwon, wara Tolu, bertepatan dengan sasih (bulan) Kalima pada tahun isaka
113 (sekitar November 191). Di antara Bhatara Tiga itu Bhatara Gnijaya berparhyangan
di gunung Lempuyang (Bukit Bisbis). Bhatara Tiga tiba di Bali dari gunung
Semeru (Jawa Timur) atas perintah Bhatara Pasupati, untuk dijadikan junjungan
pulau Bali.
Dilansir
dari website karangasemkab.go.id, bagi umat Hindu maupun para wisatawan yang
hendak tangkil atau sembahyang ke Lempuyang Luhur, hal yang patut dipersiapkan
adalah ketahanan fisik, dan hati yang tulus suci. Juga ada 6 pantangan yang
patut dipatuhi yaitu tak boleh berkata kasar saat perjalanan, tidak sedang
cuntaka seperti ada keluarga yang meninggal, wanita haid, menyusui, anak yang
belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke
pura setempat, membawa atau makan daging babi juga tidak diperbolehkan. Selain
sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke Lempuyang Luhur juga tidak
diperkenankan membawa perhiasan emas. Karena umat yang menggunakan perhiasan
emas, perhiasan itu kerap hilang misterius.
Di
Pura Lempuyang Luhur ini juga terdapat suatu yang menarik dan merupakan
keistimewaan dan bersifat khusus ialah dengan terdapatnya serumpun bambu Buluh
Gading. Di dalam ruas-ruas bambu ini akan didapat tirta (air suci) yang lazim
disebut Tirta Pingit. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang yang datang
sembahyang kesana akan memperolehnya, melainkan hanya suatu kelompok keturunan
saja yang mendapatkan tirta tersebut, sedang dari warga lainnya tidak mungkin. Sementara
untuk odalan atau upacara di pura ini digelar setiap enam bulan sekali yakni
saat umanis Galungan. (TB)