ist Pura Samuantiga merupakan pura yang berada di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali. Pura ini memiliki sejarah yang panjang da...
ist |
Pura Samuantiga merupakan pura yang berada di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali. Pura ini memiliki sejarah yang panjang dan menjadi cikal bakal berdirinya desa pakraman yang sekarang dikenal dengan desa adat. Meskipun demikian tak banyak sumber yang menguraikan terkait sejarah Pura Samuantiga ini.
Dilansir
sari babadbali.com dalam
lontar Tatwa Siwa Purana, khususnya lembar 11 ada disebutkan tentang pura
Samuantiga. Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa pura Samuantiga dibangun
pada masa pemerintahan raja Candrasangka. Akan tetapi jika kita telusuri dari
kronologi pemerintahan raja-raja di Bali, tidak ada raja yang bernama
Candrasangka namun yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa disebutkan dalam
prasastinya yang sekarang tersimpan di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring,
berisi tentang pembuatan telaga/pemandian suci yang disebut Tirta di Air
Hampul.
Bila
mana prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama
atau nama lain dari raja Candrasangka Warmadewa seperti disebutkan dalam
prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa
pura Samuantiga dibangun sejaman dengan pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X.
Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi
keagamaan pada masa Bali Kuna, seperti dikatakan R. Goris dimana setiap
kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan
Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul sebagai pura Gunungnya dan pura Samuantiga
sebagai pura Penataran yaitu pura yang berada di pusat kerajaan.
Seperti
dikatakan para ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali Kuna berada
di sekitar Desa Bedulu karena banyak diketemukan tinggalan arkeologi bahkan
berlangsung sampai masa Majapahit seperti disebutkan dalam Negarakertagama
bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Badahulu dekat Lwah Gajah. Sehingga
tidaklah berlebihan bila diasumsikan bahwa pura Samuantiga pada abad X
merupakan pura Penataran dan kerajaan Bali Kuna yang berlokasi di pusat
pemerintahan yang dalam beberapa sumber lokal disebut Bata Anyar.
Kata
Samuantiga terdiri dari perpaduan kata "Samuan" dan "Tiga".
Samuan berasal dari kata Samua berarti pertemuan penyatuan, sangkep dan Tiga
berarti atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuantiga berarti
pertemuan/penyatuan dari tiga hal atau musyawarah segitiga.
Dalam
lontar Kutaca Kanda Dewa Purana Bangsul, terutama pada bagian yang menguraikan
tentang Samuantiga menunjukkan bahwa pemberian nama Samuantiga terkait dengan
adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya
musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali
Kuna. Pelakaanaan musyawarah tokoh-tokoh setitiga diperkirakan berlangsung pada
masa pemerintahan raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya
Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011 masehi. Hal tersebut
antara lain diseebutkan dalam Babad Pasek.
Dari
pernyataan pada lontar tersebut menunjukkan babwa pura Samuantiga merupakan
tempat pertemuan dan musyawarah tokoh- tokoh agama pada masa pemerintahan
Gunapriyadharmapatni dan Udayana yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan
untuk penerapan konsepsi Tiri Murti melalui terbentuknya desa Pekraman dengan
Kahyangan Tiganya.
Suksesnya
pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh agama yang berhasil menyepakati suatu
keputusan yang bersifat monumental bagi perkembangan agama Hindu di Bali,
secara tradisional diyakini tidak terlepas dari peranan penting tokoh
legendaris Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis
pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro Makabehan. Pelaksanaan
musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu kondisi sosial keagamaan
yang perlu segera ditangani agar tercapainya ketentraman dalam kehidupan
masyarakat.
Seperti
disebutkan oleh R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan
keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang
pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta,
Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte
tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan. Masing-masing sekte
memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya
dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang
paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Berkembangnya
keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik
dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap
stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat
berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni dan
Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan
beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa Timur.
Karena
Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardana dari Jawa Timur, maka
beliau sangat mengenal Tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang diperkirakan
dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.
Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta bersaudara yang sering dijuluki "Panca Pandita" atau Panca Tirta. Kelima Pendeta bersaudara itu ialah:
1. Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Baradah, Empat di antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali secara berturut-turut yaitu:
2. Mpu
Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999m) berparhyangan di Besakih.
3. Mpu
Ghana datang pada tahun saka 922 (1000) beparhyangan di Gelgel.
4. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001) berparhyangan di Cilayuti Padangbai.
5. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006) berparhyangan di Lempuyang (Bukit
Blibis).
Mengingat
pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan di Girah dengan
sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau sebagai Senopati dan sebagai
Ketua Majelis Pakira-kiran Jro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui
posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte
keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran yang kemudian
untuk memperingati peristiwa besar tersebut puranya diberi nama Samuantiga.
Sejak itulah kemungkinan nama pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan
dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Kedatangan
Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang pernah
berkembang dan didominasi oleh sekte Siwa Sidhanta. Untuk menyatukan semua
sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan
dalam bentuk Candi seperti Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui
Candi tersebut di puja Dewa Brahma, Wisnu dan Çiwa dengan bangunan candi
tersendiri
Konsep
Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola
Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiganya untuk sebuah desa. Bagi
setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan
didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya. Mpu Kuturan disamping
ahli dalam Rajaniti (hukum pemerintahan) Beliau Juga sebagai tokoh yang
sempurna dalam falsafah keagamaan sebagai arsitektur agung yang berlandaskan
ajaran agama terutama dalam penataan pura-pura di Bali) termasuk Besakih.
Samuantiga
yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang
dan pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan jaman. Pendirian pura ini
pada awalnya adalah sebagai pura Penataran masa Bali Kuna, kemudian dijadikan
tempat perternuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budba dan Bali Aga yang
berhasil menyepakati penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pekraman
dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi
seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujudlah
kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pura
Samuantiga merupakan cikal bakal dari adanya Desa Pekraman dan Kahyangan Tiga
sebagai penerapan konsep Tri Murti di Bali.
Di
samping makna sejarah kata Samuantiga dapat pula ditelusuri melalui makna
filosofinya yang juga berarti bahwa sejak adanya musyawarah tersebut terjadi
peningkatan kwalitas kehidupan beragama khususnya dalam hal pemahaman filsafah
agamanya.
Dari
pemujaan pada istadewata yang berdiri sendiri menuju pada pemujaan Tuhan /lda
Sanghyang Widhi melalui ketiga aspeknya yaitu Tri Murti sebagai satu kesatuan
yang tebih dikenal sebagai bersifat eka-aneka, Hal ini merupakan proses,
rekonsiliasi atau revitalisasi dalam kehidupan keagamaan Hindu di Bali.
Keberadaan
pura Samuantiga terus tumbuh dan berkembang dengan segala pasang surutnya
sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial budaya umat Hindu di Bali. Setelah
Bali memasuki kehidupan dalam sistim kerajaan keberadaan pura Samuantiga
menjadi tanggungjawab raja-raja Bali melalui pengenaan pajak tiga sana atau
sawinih kepada seluruh petani atau umat Hindu di Bali. Menurut informasi Gusti
Agung Gede Putra (almarhum) kerajaan Mengwi pada sekitar tahun 1817 pernah
melaksanakan upacara besar di pura Samuantiga.
Pada
masa selanjutya, sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat keberadaan
pura Samuantiga menjadi tanggung jawab Raja Gianyar. Namun suatu hal tanggung
jawab tersebut kemudian dilimpahkan kepada keluarga Pemangku untuk memelihara
dan melaksanakan upacara di pura Samuantiga melalui hasil laba pura. Karena
hasil laba pura tidak memadai, tanggung jawab tersebut kemudian diserahkan
kepada masyarakat sekitar tahun 1963 yang kemudian dibentuk kepanitian di bawah
pimpinan I Wayan Limbak. Masyarakt pengemong terdiridari 6 Desa Adat atau 12
Banjar, namun sebagai penyungsung terdiri dari seluruh umat Hindu dimanapun
mereka berada. Hal ini karena pura Samuautiga sebagai pura Kahyangan Jagat
yaitu sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap Desa pekraman dan
pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat memuja Dewa Tri Murti manifestasi
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. (TB)